Friday, May 8, 2015

TUHAN ORANG HINDU, http://narayanasmrti.com/archives/1493

Tuhan orang Hindu rakus?

Tuhan orang Hindu rakus?
Seorang anak TK yang lahir dan besar di ibu kota melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik kepada orang tuanya saat dilangsungkannya upacara besar di kampungnya di Bali. Pertanyaan yang sederhana, tetapi sudah barang tentu tidak bisa dijawab hanya dengan kata “nak mulo keto” (memang sudah demikian).
Saat itu berlangsung upacara Dewa Yadnya tingkat utama di rumahnya yang melibatkan berbagai macam korban binatang. Ada seekor kerbau, beberapa ekor babi dan puluhan itik dan ayam disemblih. Sementara sang pinandita memimpin upacara dan menyemblih satu-persatu hewan-hewan korban, sang anak kecil bertanya pada ayahnya; “Papa, Tuhan kita kok doyan makan ya? Apa Tuhan memakan persembahan hewan sebanyak itu? Apa Tuhan ga kasihan ya sama binatang-binatang itu sampai harus melahap dengan rakus kayak gitu?”. Sang papa hanya bisa tertegun dan berusaha menjelaskan kepada anaknya yang masih kanak-kanak dengan mengatakan; “Dek, kita mempersembahkan binatang-binatang itu agar mereka disupat, dan kelak roh-roh mereka diangkat ke alam sorga sehingga mereka akan menikmati kebahagiaan di sana”. Sang anak kembali bertanya; “Tapi Pa, kalau memang demikian kenapa bukan adek aja yang dipersembahkan agar adek bisa masuk sorga? Atau kenapa bukan papa dan jero mangkunya aja sekalian yang dipersembahkan agar semua masuk sorga?”. Ujung dari pertanyaan-pertanyaan sederhana ini pada akhirnya hanyalah “nak mulo keto” yang tentunya tidak memuaskan keingintahuan sang anak cerdas ini.
Jika anda hidup di komunitas minoritas Hindu, mungkin pertanyaan yang serupa dengan apa yang disampaikan anak kecil ini juga sering dilontarkan kepada anda. Pada umumnya orang non Hindu tidak pernah disibukkan dengan berbagai macam upacara dan persembahan makanan, mereka hanya cukup berdoa, bernyanyi atau hanya mengagung-agungkan nama Tuhan, lalu kenapa orang Hindu bergitu sibuk dalam upacara yang menelan dana milyaran rupiah?
Dalam Bhagavad Gita 9.26 Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna bersabda; “patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyaḿ yo me bhaktyā prayacchati tad ahaḿ bhakty-upahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ, Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya”. Dari sloka ini kita dapat mengerti bahwa Tuhan tidak pernah meminta persembahan mewah dan mahal sehingga memberatkan umatnya. Meskipun Beliau mengatakan persembahan “patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyam, daun, bunga, buah atau air” namun yang terpenting dari itu semuanya adalah “bhakty-upahṛtam, persembahan bhakti. Membuat persembahan mewah dan mahal tanpa ada rasa bhakti di dalamnya tidak akan ada gunanya. Tetapi hanya persembahan yang dilandasi dengan rasa bhakti yang tulus meskipun tanpa menggunakan sarana apa-apalah yang akan diterima oleh Tuhan.
Lalu buat apa Tuhan, Sri Krishna meminta persembahan daun, bunga, buah atau air? Apakah Beliau lapar dan perlu makan? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita coba mengambil suatu analogi dalam kehidupan kita sehari-hari. Andaikan anda adalah orang tua yang memiliki dua orang anak. Setiap hari anda memberikan uang jajan yang sama besarnya kepada kedua orang anak anda. Satu anak menggunakan semua uang tersebut untuk membeli jajan dan menghabiskannya seorang diri. Sementara itu, anak anda yang satunya menggunakan uang tersebut untuk berbelanja, tetapi selalu menyisihkan sebagian untuk anda dalam bentuk sebuah permen seraya dia berkata; “Pa, ma, ini saya bawakan permen buat kalian. Saya harap papa dan mama menerimanya”. Melihat perbedaan tingkah laku kedua anak anda ini, apa yang terbesit dalam benak anda? Yang mana yang lebih anda hargai? Apakah anak yang menggunakan uang jajannya dan menghabiskannya seorang diri ataukah anak yang dengan tulus menyisakan dan membawakan anda sesuatu walaupun hanya berupa sebuah permen yang sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekayaan yang anda miliki? Jika anda manusia normal, saya yakin anda lebih menghargai anak yang menyisahkan uang jajannya untuk sebuah permen itu bukan?
Begitu pula dengan Tuhan. Tuhan adalah pemilik dan penguasa alam material dan alam rohani, bahkan kita sebagai jiva yang kekal adalah bagian dari kekuasaan Beliau. Dalam Śvetāśvatara Upaniṣad 6.7disebutkan; “vidāma devaḿ bhuvaneśam īḍyam, tiada yang lebih besar dari pada Beliau, dan Beliau adalah sebab utama segala sebab”. Bahkan dalam Brahma Samhita sloka 13 dikatakan; “Benih-benih transendental (anti materi yang menjadi satu alam semesta) Sankarsana muncul dari pori-pori kulit Maha-Visnu dalam bentuk telur emas yang tak terhitung jumlahnya sambil Maha-Visnu berbaring di lautan penyebab, semua telur tersebut tetap tertutupi oleh unsur material besar”. Dari penjelasan sloka Veda yang lain kita mengetahui bahwa satu alam semesta terdiri dari milyaran galaksi. Dengan demikian, dapatkan anda membayangkan betapa besarnya Tuhan? Apakah Tuhan perlu memakan secuil makanan yang kita persembahkan? Bukankah jika Tuhan mau, dalam satu kali lahap, semua alam material yang terdiri dari jutaan alam semesta ini akan habis dalam sekejap?
Jadi, sarana material yang kita gunakan untuk memuja Tuhan hanyalah merupakan perwujudan ungkapan cinta kasih kita kepada Beliau. Bukan karena Tuhan sedang haus dan lapar, serta akan marah jika kita tidak membawakan Beliau sesuatu. Orang Hindu juga tidak punya kewajiban untuk membuat upacara besar-besaran yang menghabiskan sekian banyak dana dengan dalih memuaskan Tuhan. Sungguh tindakan bodoh jika ada orang Hindu yang harus ribut-ribut bertengkar dengan sanak familinya, menjual harta warisan leluhur, menelantarkan pendidikan putra-putrinya dan dengan bangganya memamerkan pada masyarakat kalau dia sanggup mengadakan upacara ritual tingkat utama tanpa didasari rasa cinta bhakti yang tulus kepada Tuhan. Padahal Sri Krishna dengan tegas mengatakan; “eka-bhaktir viśiṣyate priyo hi jñānino ‘tyartham ahaḿ sa ca mama priyaḥ, orang yang memiliki pengetahuan sepenuhnya dan selalu tekun dalam bhakti yang murni adalah yang paling baik. Sebab dia sangat mencintai-Ku dan Aku sangat mencintainya” (Bg.7.17). Jangan anda pikir Tuhan bisa disuap, jangan anda pikir dengan upacara megah tanpa bhakti akan meluluhkan hati Tuhan dan jangan berpikir dengan upacara ngaben yang megah akan mengantarkan anda dan keluarga anda ke alam moksa. Hanya cinta kasih yang murnilah yang bisa menyelamatkan anda.
Jika anda merasa pernah menjual warisan leluhur, atau bahkan “turus lumbung” anda  hanya untuk membuat upacara megah, atau anda hanya sibuk berkutat dalam berbagai macam ritual tanpa anda tahu esensinya. Tanpa pernah menyeimbangkan faktor pilosofi, mendidik generasi muda anda dalam ilmu pengetahuan rohani, tanpa pernah perduli dengan lembaga pendidikan yang akan menanamkan pondasi Veda kepada kaum muda Hindu, maka mulailah bercermin pada sloka-sloka Veda. Dalam Bhagavad Gita 7.18 Sri Krishna menyingung betapa pentingnya pondasi pengetahuan dalam menumbuhkan rasa cinta bhakti dalam diri seseorang untuk menggapai dunia spiritual (jñānī tv ātmaiva me matam āsthitaḥ sa hi yuktātmā mām evānuttamāḿ gatim).
Upacara adalah bagian yang sangat penting dalam pengungkapan rasa syukur dan cinta bhakti kita kepada Tuhan, tetapi upacara yang tidak dilandasi oleh pengetahuan, adalah upacara dalam tingkat kebodohan. Kenyataan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 17.5-6; “aśāstra-vihitaḿ ghoraḿ tapyante ye tapo janāḥ dambhāhańkāra-saḿyuktāḥ kāma-rāga-balānvitāḥ karṣayantaḥ śarīra-sthaḿ bhūta-grāmam acetasaḥ māḿ caivāntaḥ śarīra-sthaḿ tān viddhy āsura-niścayān, Orang yang menjalani pertapaan dan kesederhanaan [ritual korban suci] yang keras yang tidak dianjurkan dalam Kitab Suci, dan melakukan kegiatan itu karena rasa bangga dan keakuan palsu didorong oleh nafsu dan ikatan, yang bersifat bodoh dan menyiksa unsur-unsur material di dalam badan dan Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam badan, dikenal sebagai orang jahat”.
Jadi untuk menghindari ritual keagamaan yang dalam sifat kebodohan, sudah saatnya umat Hindu bangkit dari praktek-praktek ritual yang tidak dilandasi atas pengetahuan dan kitab suci. Sudah saatnya umat Hindu harus membentengi diri dengan sistem pendidikan yang baik. Biarkan tradisi “nak mulo keto” kita kubur dalam-dalam dan menggantinya dengan pengetahuan spiritual. Pada dasarnya kita sudah memiliki sistem pendidikan rohani sang sangat komprehensip dengan sistem upanisad dan parampara-nya yang dinaungi oleh sistem guru kula. Tahukah anda kalau ternyata sistem pesantren yang diterapkan oleh umat Islam adalah adopsi dari sistem guru kula Hindu? Kenapa kita harus mencari sistem pendidikan baru dengan meniru pesantren dan menamakanya pesantian jika kita sudah memiliki sistem guru kula?

Just Share, "Kenapa orang Hindu gampang sekali pindah agama??"

BALI (Baang Anake Liang Ingkel-ingkel)

BALI (Baang Anake Liang Ingkel-ingkel)
Mengapa orang Hindu gampang sekali pindah agama?
Mari kita simak…
Berbaik hati kepada setiap makhluk adalah ajaran yang sudah dimulai dari sejak jaman majapahit. siwa-buddha, agama ini begitu toleran sekali sehingga memungkinkan peluang besar terhadap syiar-syiar agama lain. Itulah sebabnya kenapa Islam bisa berkembang dengan baik di Indonesia. Semuanya oleh karena toleransi ini. Sebuah starting point yang bagus untuk agama pendatang.
Cinta itu kuat berupa kepedulian yang juga universal. Ketika cinta adalah raksasa mega yang diktator, setiap insan akan menjadi lupa akan hal lainnya. Cinta dan kelicikan adalah dua hal yang sangat tipis perbedaaannya. Ketika cinta kembali berkata,”turuti saja nuranimu” agama atau apapun tak akan bisa berkata apa-apa. Pernikahan pun terjadi dalam kebimbangan yang kuat meskipun seolah di luar terlihat begitu yakin. Well ternyata karena cinta kita terhadap seseorang ,kita pindah keyakinan. Pertanyaannya, bisakah keyakinan kita dipindahkan? Keyakinan semacam apa yang bisa dipindahkan begitu saja? Selera Atau keterpaksaan?
Dan Kemudian Menjaga?
Apa yang akan kita jaga? Agama kita? Atau adat?
Kebanyakan di Bali khususnya yang cenderung paling dikenal adalah adat, bukan agama. Agama adalah bagian kecil dari adat. Itulah kesimpulannya. Ketika kita sudah berkumpul dan membicarakan adat, orang Bali takut sekaligus begitu intens membicarakannya. Mengapa? karena adat  telah mengalihkan perhatian masyarakat Bali dari agama.
Adat di Bali seperti ajaran agama Islam di Indonesia. Seandainya saja kekuatan adat di Bali bisa disulap menjadi penjaga kehinduan serta hukum yang membuat keselarasan dan keharmonisan Bali, maka saya pastikan Hindu pun bisa menjadi kuat. Tapi yang saya maksud bukan kekerasannya, tapi semangat kehinduan kita. Masalahnya adalah adat di Bali terlalu jauh dari jangkauan agama. Agama di Bali bisa dijadikan ajang pariwisata. Turis-turis datang ke Bali menganggap Pura adalah tempat yang unik, bukan tempat yang sakral. Karena itu mereka serin masuk areal Pura dengan santai dan mengabadikannnya dalam memori kameranya.
Memang dari sudut pandang Hindu, kebudayaan atau local genius di setiap daerah harus diperhitungkan. Artinya agama merasuk kedalam local genius tersebut tanpa merusak tatanan yang ada. Namun kini masalahnya lain. Karena agama yang diartikan salah inilah maka perkembangan adat dan tradisi tidak sepadan dengan perkembangan agama. Agama Hindu di Bali menjadi abu-abu. Agama Hindu seperti titik kecil dalam kehidupan Bali. Sebagai contoh ketika kita ditanya apa agama kita. Tentu kita menjawab Hindu. Selanjutnya pertanyaannya adalah,” apa kitab suci mu? “ pasti gampang kita menjawab “Veda”. Terus pertanyaan berlanjut, “mana Vedamu ? bolehkah saya baca? “. Antara tertegun, tidak tau, tidak mau menjawab dan lain sebagainya ekspresi kita.
Setelah kita buta terhadap Veda, orang lain yang berbeda keyakinan bisa menginjeksikan doktrin-doktri baru kepada kita dengan mengatakan bahwa ikutlah jalan baru ini. Tuhan memberikan banyak jalan dan tujuannya adalah sama. Pelik sekali masalah ini. Umat Hindu yang berkitab sucikan Veda, sebagian besar belum pernah membaca sloka-sloka Veda. Belum menerima Veda secara utuh tetapi hanya sebatas tradisi Bali dijadikan tolak ukur Hindu yang sejati.
Saya sendiri heran mengapa mesti bangga jika konsep tri hita karana dipakai oleh bangsa di Eropa , sementara sejarah-sejarah Hindu dan Kristen selalu tak pernah mulus. Pernah terbisik di telinga saya mengapa mereka tidak masuk Hindu saja? Kembali saya menjawab, apa mungkin? Mungkin orang bali-lah yang akan memeluk Kristen.
Disatu sisi bangga minta ampun ketika ajaran Hindu menjadi universal karena telah diadopsi oleh penduduk dunia. Namun apakah belum pernah terpikir kalau itu pencurian “hak cipta”? Disisi lain karena toleransi pula lah, maka lahirlah kitab-kitab bajakan agar memudahkan usaha gospel Kristen. Tak terasa bahkan di wilayah canggu, Kuta utara perlahan tapi pasti kristenisasi berjalan dengan mulus lewat jalan perkawinan. Adopsi tradisi Bali kental sekali. Lengkung-lengkung ambu dipakai penghias perayaan hari raya mereka. Prosesi “ngidih” / meminang pun digunakan media “gebogan”, namun di barisan terdepan lambang salib besar membuat mata terbelalak. Pakaian yang digunakan juga pakaian adat bali. Bahkan tempat pernikahan pun dirangkai sedemikian rupa dengan hiasan khas perkawinan adat bali dan di lini depan lambang Ongkara juga digunakan. Wow, whats wrong with them? Sungguh hebat upaya penyusupannya sampai-sampai penggunaan Om Svastyastu sepertinya tak lebih dari sebuah karya seni saja.
Sekarang  giliran Budaya yang dirasuki. Hemm…
“Bali memang unik. Saking uniknya, tradisi, adat istiadat dan budaya Bali yang kental nuansa teologis menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Meski semuanya berakar pada agama Hindu, namun tak sedikit dari tradisi, adat istiadat dan budaya itu dijadikan perekat keberagaman dan mutikulturalisme di pulau yang tersohor seantero dunia itu.”
Diatas adalah kutipan dari Viva news tentang upaya luar biasa Kristen dalam menjalin kerukunan antar umat beragama di daerah ubung kaja. Dan saya kutipkan lagi, “Romo Servasius I Nyoman Subhaga SVD menjabarkan, gereja yang dibangun di atas lahan seluas 3.700 meter persegi itu bukan sekadar bangunan belaka. Gereja Katolik Yesus Gembala Yang Baik didesain penuh dengan falsafah. “Semua mengacu pada filosofi Asta Kosala Kosali (filosofi Hindu) yang merupakan acuan arsitektur dan tata letak bangunan di Bali. Selain itu juga mengadopsi filosofi Tri Mandala (tiga konsep tata letak bangunan Bali),” katanya“. Dan lagi  “Bahkan, terdapat kulkul (kentongan) di gereja tersebut yang umumnya hanya ada di pura dan banjar-banjar di Bali.” Next  “Semakin unik manakala gereja ini juga di-melaspas–upacara tradisi umat Hindu Bali untuk menempati bangunan baru dengan dipimpin pemuka agama Hindu–lengkap dengan sarana dan perlengkapan persembahyangan ala umat Hindu Bali.”
Ternyata konsep-konsep  Budaya Bali pun digunakan disini. Terus apa manfaatnya bagi Hindu? Apa tidak pernah terpikir 50 tahun kemudian? Bisa-bisa Pura akan beralih fungsi menjadi gereja.
Bali yang terlalu toleransi, Budayanya dicuri begitu saja. Taktik yang sangat jitu, cerdik, dan hasilnya dipastikan dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama orang Bali tidak akan bisa bedakan antara Pura dan Gereja .
Berikut saya sampaikan tentang kemerosotan Budaya bali terkait dengan kutipan tadi.
“hal yang lebih parah lagi saat rehab pura, ternyata bahan lama dibuang dan diganti dengan material yang baru, sehingga menghilangkan nilai sejarah, artinya melupakan makna kerja keras dan spiritual saat leluhurnya membangun bangunan tersebut.” [Beritabatavia]
Nah, sudahkah kita terbangun? Ada apa dengan Bali? Masihkah bangga menjadi masyarakat Bali jika menghormati kerja keras para pendahulu kita saja kita tidak bisa. Malah yang Kristen berbondong-bondong membuat Gereja bercorak Budaya Bali, dan kita sang pemilik budaya meninggalkan seni-seni Bali. Uniknya, saya sendiri semakin sering melihat bangunan-bangunan di Bali semakin modern dan semakin meninggalkan seni ukiran Bali. Masyarakat sekarang kebanyakan membuat rumah dengan konsep minimalis.
Selain memanfaatkan peluang diatas, Apa penyebab Kristen bisa melaju dengan cepat? Jawabannya mudah, karena Kristen memang sedang menikmati keadaan. Kristen adalah agama misionaris aktif, sedangkan Hindu tidak seaktif Kristen menyebarkan agama. Ditambah lagi orang Hindu merasa berat di adat jika tetap memeluk Hindu. Alhasil Kristen benar-benar bisa menenangkan Hindu yang terluka karena adat dan mengikuti “ajaran kasih”. Disinilah letak titik kekalahan kita. Ketika Dharma di move menjadi kasih, ajarannya terasa tak jauh berbeda. Apalagi biaya untuk hari-hari besar Kristen relatif lebih murah dan hebatnya lagi ada biaya-biaya yang dijanjikan jika mau memeluk Kristen. Misalnya jaminan sekolah untuk anak. Miris memang, keyakinan dialih pindahkan begitu saja. Sepertinya keyakinan itu kini bukan seperti arti sebenarnya, namun lebih condong kepada selera. Jika mau ruwet pilih Hindu, jika mau gampang pindah saja. Bukankah begitu?
Karena pemberontakan hati mereka lah, maka mereka memilih. Semakin aktif bujuk rayu itu menghampiri, maka semakin cepat pula otak kita yang sedang mumet menerima ajakan itu. Sayang sekali, memang mereka sedang menikmati keadaan. Mereka pasti bersyukur dengan keadaan ini karena merasa sudah membantu sesama manusia untuk diajak dijalan yang benar.
Lihai sekali memang mereka meyakinkan orang. Pada suatu kesempatan mereka dikatakan penjual kecap, namun mereka bisa memberi  jawaban, ”mengapa tidak? Saya terusik untuk membantu sesama manusia untuk berjalan bersama-sama di jalan Tuhan, itu kami lakukan karena kasih Tuhan yang begitu mulia”. Kata-kata ini begitu indah bukan? Di Bali masalah-masalah pindah agama selalu bukan topik yang wahh, tapi kalau menyangkut adat, sampai kesepekang beritanya sangat heboh. Bagaimana mau memberi solusi yang bijak, jika HAM tidak dijalankan? Yang ada malahan kerusakan psikologis yang diderita. Inilah betapa kuatnya adat di Bali, sangat buas, buas terhadap sesama Hindu, tapi lemah untuk para pedagang agama. Dalam hal ini yang saya harapkan bukan jalan kekerasan, tapi solusi terhadap ketakutan masyarakat terhadap adat.
Sesekali mulailah bertanya pada diri kita sendiri, apa kita lebih tega melanggar HAM ketimbang saudara kita akhirnya meninggalkan agama Hindu? Apa jadinya Bali 50 tahun kemudian jika tanpa Hindu? Sementara Bali berarti Bebali, bebanten. Terus apa artinya Hindu di Bali tanpa Banten? Sama saja kehilangan identitas bukan?
Semoga kedepannya adat di Bali bisa memberikan nilai positif terhadap perkembangan agama Hindu. Saya sedih dan merasa terpuruk dalam batin ketika telinga saya sering mendengar ,” si anu sube dadi Kristen jani, nuutin agama kurene” ( si anu sudah jadi Kristen,mengikuti agama suaminya). Lama-lama bisa jadi beban berat bagi Hindu jika Sradha kita kurang dan menganggap agama adalah semuanya sama. Sungguh suatu slogan masyarakat yang saya rasa kurang mengerti tentang agama dan dengan gampangnya menyatakan demikian. Apakah ini akibat “nak mule keto” ?
Referensi :
http://nasional.vivanews.com/news/read/246546-gereja-bernuansa-bali-diresmikan
http://www.beritabatavia.com/berita-8614–bali-alami-kemerosotan-budaya.html

Bhagavad Gita Bab 2.61

Tani sarvani samyaya yukta asita mat parah
vase hi yasyendriyani tasya prajna pratistha
Bhagawad Gita 2.61
Artinya :
Siapa pun yang mampu mengendalikan indria-indrianya dan memusatkan pikirannya kepadaku, dialah orang yang memiliki kesadaran sejati

JUST SHARE, "AGAMA HINDU ATAU AGAMA BALI??"

Agama Hindu atau Agama Bali?


Warning: file_exists() [function.file-exists]: open_basedir restriction in effect. File(/home/w164772/public_html/wp-content/uploads/et_temp/hindu%20bali-1080x675.jpg) is not within the allowed path(s): (/home/narahari:/usr/lib/php:/usr/php4/lib/php:/usr/local/lib/php:/usr/local/php4/lib/php:/tmp) in/home/narahari/public_html/wp-content/themes/Divi/epanel/custom_functions.php on line 1018
Agama Hindu atau Agama Bali?
Beneh-benehan ngaba raga di Jawa nah Gung, iraga nak maagama Bali, eda engsap ring kawitan, perajini ngastiti bhakti ditu nyen nah (Baik-baik bawa diri di Jawa ya Gung, kita ini beragama Bali, jangan lupa dengan leluhur, rajin-rajin sembahyang disana ya)”. Kira-kira seperti itulah pesan kakek saya ketika berpamitan saat akan merantau ke Jawa pada tahun 2003 silam. Pesan yang sangat mulia dari seorang tetua yang hendaknya selalu diingat.
Namun ada sebuah kata-kata yang tertanam jelas dalam ingatan saya, yaitu “Agama Bali”. Kenapa para tetua kita di Bali lebih nyaman menyebut agama yang mereka anut sebagai agama Bali? Dilihat dari sejarah pengakuan keberadaan agama Hindu di Indonesia, harus kita akui bahwa pada awalnya yang diakui hanyalah agama dan kebudayaan yang hanya ada di Bali. Sehingga para pemuka agama di Balipun membentuk perhimpunan yang disebut Parisada Hindu Bali. Namun karena menyadari bahwa Hindu tidak hanya ada di Bali, tapi juga ada di daerah lain di Indonesia, akhirnya Parisada Hindu Bali berubah nama sebagaimana saat ini, yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Hanya saja sudah selayaknya kita kembali bertanya, apakah benar kita adalah penganut Hindu? Ataukah lebih tepat disebut penganut agama Bali atau Hindu Bali? Kenapa saya bertanya seperti itu? Karena pada kenyataannya sampai detik ini, kita sebagai penganut Veda masih terlalu Balisentris. Kita menggunakan tolak ukur penilaian kehinduan berdasarkan parameter-parameter yang diterapkan di Bali. Kita sibuk membangun pura di luar Bali dengan menggunakan bahan-bahan dan arsitektur yang di import dari Bali. Berbagai peralatan upacara, banten dan pemangkunyapun kita import dari Bali. Sering kali kita mengesampingkan budaya setempat dimana disana sebenarnya sudah ada Hindu yang memiliki corak yang berbeda dari Bali. Apakah tindakan kita melakukan Balinisasi Hindu sudah benar?
Implikasi tindakan Balinisasi ini ternyata cukup komplek. Saya pernah mendengarkan keluhan seorang pemuda Hindu Jawa di salah satu pura di Yogyakarta yang intinya mengatakan bahwa dia merasa terasing di daerahnya sendiri. Dimana untuk menjadi Hindu, dia harus mengikuti adat Bali, membuat canang dan peralatan upacara yang tidak sesederhana apa yang diajarkan leluhurnya. Melakukan banyak upacara-upacara dan semuanya itu harus bercermin terhadap masyarakat Bali. Saya yakin bahwasanya masyarakat Hindu di luar Bali yang berpikir seperti itu bukan hanya dia seorang.
Namun ternyata tanda tanya besar juga muncul dari banyak kalangan orang Bali sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya tentang stastus Hindu mereka. Apakah mereka menjadi Hindu harus mengikuti adat istiadat yang ada di Bali ataukan boleh menggunakan cara lain?
Bagaimana tidak, Hindu di Bali memiliki dasar-dasar ajaran yang seolah-olah dapat berdiri sendiri. Hindu di Bali memiliki kitab suci, yaitu Lontar Catur Veda Sirah yang meskipun merupakan turunan dari Narayana Upanisad tapi memberikan pembenaran yang cukup tentang dasar kepercayaan orang Bali. Disamping itu, Hindu Bali juga memiliki lontar-lontar lain yang tidak kalah lengkapnya jika disejajarkan dengan Al-kitab atau Al-Qur’an. Semua upacara-upacara yang berlangsung di Bali didasarkan pada lontar-lontar ini.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah orang Bali yang beragama Hindu harus melakukan ritual-ritual yang ditetapkan oleh lontar-lontar dan tradisi saat ini? Jawaban pertanyaan ini sangat penting, karena pada kenyataannya saat ini sebagian masyarakat Bali sudah tergerus oleh modernisasi, tuntutan kebutuhan yang semakin berat, rutinitas dan kesibukan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Disaat penghasilan pas-pasan, kebutuhan untuk menyekolahkan anak dan biaya hidup yang tinggi harus bersaing dengan biaya upacara adat yang tidak bisa ditawar-tawar, yang manakah yang harus di dahulukan? Haruskan mereka mengesampingkan pendidikan anak mereka dan mendahulukan upacara agama? Ataukah harus menjual tanah warisan leluhur beserta “turus lumbung” dan pura keluarga yang ada diatasnya kepada para investor non-Hindu yang berani membeli dengan harga tinggi? Sungguh merupakan suatu dilema yang tidak mudah. Sehingga tidaklah mengherankan jika banyak orang Bali saat ini yang hanya menjadi penonton di daerahnya sendiri, pantai-pantai indah telah dikuasai inverstor asing dan orang Bali hanya dijadikan “buruh” di kafe-kafe dan hotel-hotel di daerahnya sendiri. Dan yang paling menyedihkan, sangat banyak orang Bali yang mulai berpaling dan berpindah keyakinan hanya karena tidak sanggup mengikuti tuntutan kebutuhan upacara.
Terdapat aturan yang saya rasa aneh dan sangat urgen diperbaiki dalam sistem adat dan juga mindset orang Bali. Jika kita perhatikan awig-awig/aturan desa adat kita. Maka sebagian besar menetapkan bahwasanya yang menjadi warga desa adat dan yang wajib menyungsung pura dan dengan semua iuran-iuran serta “ayahan (kegiatan gotong royong)” yang menyertainya adalah mereka yang beragama Hindu yang memiliki leluhur yang berasal dari desa adat bersangkutan. Permasalahan akan muncul bagi mereka yang merantau ke luar desa adat bersangkutan dan di daerah tempatnya merantau juga dikenakan iuran serupa. Sehingga mau tidak mau keluarga perantau ini harus menanggung dua beban sekaligus. Jika keluarga perantau ini tidak bisa memenuhi kewajibannya dalam “ngayah” di desa adat leluhurnya akibat tuntutan pekerjaan atau kewajiban di daerah barunya, maka sering kali warga adat mempergunjingkan mereka dan entah karena sentiment pribadi pernah ada kasus dimana warga perantau ini sampai “kutang banjar (tidak diakui lagi sebagai anggota desa adat)”.
Namun ironisnya, para pendatang non-Hindu yang bertempat tinggal di desa adat bersangkutan diterima dengan sangat terbuka dan bahkan warga ini sering kali tidak dibebankan berbagai mancam iuran dan “ayahan” sebagaimana warga desa adat lainnya yang beragama Hindu. Dengan kata lain, meski sama-sama menempati wilayah kekuasaan desa adat yang sama, tapi warga Hindu Bali memiliki beban yang jauh lebih berat dari warga non-Hindu. Jika kasus ini terjadi di desa yang masih homogen, saya kira tidak akan banyak implikasinya dengan tatanan desa adat setempat, tapi bagaimana jika hal ini terjadi di kota seperti di Denpasar dimana populasi penduduk asli dan pendatangnya sebanding? Tidakkah warga Hindu Bali yang “cerdas” akan tergiur keluar dari adat atau menjadi warga non-Hindu agar dapat lepas dari kewajiban-kewajiban desa adat? Toh juga mereka memiliki hak yang sama sebagai warga di sana kan?
Di komplek perumahan tempat saya tinggal di Jakarta, setidaknya terdapat 20% warga minoritas yang beragama Kristen, Buddha, Cina dan termasuk saya, Hindu dan selebihnya adalah Muslim. Namun yang menarik disini dan saya rasa perlu dicontoh oleh adat di Bali adalah prihal iuaran wajib yang dikenakan ke warga non-muslim. Dalam kartu iuran bulanan RT/RW, disana dengan jelas tertera pengalokasian dana iuran tersebut. Yang sangat mengejutkan, kenapa 30% iuran tersebut dialokasikan untuk kas Musola dan Masjid? Bukankah warga non-Muslim yang jumlahnya tidak dapat dikatakan sedikit tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap tempat ibadah tersebut? Pengalokasian dana tersebut memang disetujui oleh warga non-muslim akibat kegigihan pengurus RT/RW dalam melakukan lobby door to door terhadap warga non-Muslim. Pertanyaannya, tidakkah hal ini dapat diterapkan di Bali untuk mempertahankan eksistensi Hindu Bali dengan desa adatnya? Bukankah dengan penerapan hal seperti ini juga akan meringankan beban iuran warga adat? Jika di komplek perumahan dimana seluruh warganya adalah pendatang baru saja bisa diterapkan, kenapa di Bali yang pada dasarnya seluruh tanah sudah masuk dalam suatu desa adat tertentu secara turun temurun tidak mampu bertindak seperti ini? Apakah karena toleransi? Kenapa hal ini hanya diterapkan kepada non-Hindu? Sementara jika ada warga yang menerapkan ritual Hindu dengan corak yang berbeda dengan yang diterapkan di desa adat sering kali dipergunjingkan dan bahkan ada kalanya mereka dikucilkan.
Sampai disini kita sudah dihadapkan dengan 3 problem besar, yaitu prihal bagaimanakah standar wajah Hindu sesungguhnya. Apakah harus seperti yang kita lakukan saat ini? Bagaimana menyikapi gejolak modernisasi dimana kesibukan semakin besar, kebutuhan hidup semakin mahal dan juga biaya upacara adat yang semakin menjadi-jadi? Apakah awig-awig desa adat yang selama ini menjaga keutuhan Hindu di Bali masih relevan, mengingat saat ini ada indikasi awig-awig itu sangat merugikan eksistensi desa adat dan Hindu itu sendiri?
Jika kita mengaku sebagai agama Hindu Bali yang eksklusif, saya rasa upacara-upacara adat yang saat ini kita lakukan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena semua itu sudah tertulis dengan jelas dalam lontar-lontar yang kita miliki. Paling-paling yang dapat kita perdebatkan hanyalah prihal upacara yang tergolong nista, madya dan utama saja. Hanya saja untuk upacara adat yang dilakukan saat ini, yang tergolong “kanistaning nista” pun ternyata memakan biaya yang tidak sedikit. Apakah tidak ada yang lebih murah lagi?
Untuk membahas hal ini, mari sesaat kita lepas dulu belenggu “nak mulo keto (memang sudah begitu)” dari otak kita. Mari lepaskan jubah “Hindu Bali” kita sesaat, pandanglah Hindu secara gelobal dan mari cari petunjuk-petunjuk ritual Hindu langsung dari sumbernya yang otentik, yaitu sloka-sloka Veda itu sendiri.
Dalam Bhagavad Gita 9.26 disebutkan; “patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyaḿyo me bhaktyā prayacchati tad ahaḿ bhakty-upahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ, Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya”. Jadi dari sloka ini pada dasarnya untuk menyembah Tuhan tidaklah sulit. Yang pertama yang harus kita miliki adalah rasa cinta bhakti yang tulus kepada beliau dan dengan media persembahan hanya berupa daun, bunga, buah atau air saja Beliau sudah menerimanya. Dengan demikian haruskan mempersembahkan persembahan yang mewah dan mahal?
Namun demikian, saya tidak mengatakan bahwa aturan dan persembahan yang mahal dan mewah yang kita lakukan di Bali salah. Malahan aturan, bebantenan dan sejenisnya itu memiliki nilai yang sangat tinggi dan didalamnya terdapat nilai “rasa” dan kreatifitas yang luar biasa. Namun bagi mereka yang memang benar-benar tidak mampu membuat banten, tidak mampu melakukan upacara-upacara dengan seni dan biaya tinggi bukan berarti tidak bisa menjadi Hindu kan? Bukankah tidak terdapat satu sloka Veda-pun yang mengharuskan kita melakukan yajna dengan biaya tinggi kan?
Bahkan dalam  Vishnu Purana 6.2.17, Padma Purana Uttara Kanda 72.25 dan Brhan-Naradiya Purana 38.97, disebutkan: “dhyayan krte yajan yajnais  tretaram dvapare’rcyam  yad apnoti tad apnoti kalau sankirtya kesavam, Pahala kerohanian apapun yang dicapai melalui meditasi pada masa Satya-Yuga, melalui pelaksanaan yajna pada masa Treta-Yuga, dengan memuja Arca-vigraha-Nya pada masa Dvapara-Yuga, pahala serupa juga bisa dicapai pada masa Kali-Yuga hanya dengan mengumandangkan nama-nama suci Kesava. Jadi dari sloka ini, Veda juga membenarkan jika umat Hindu melakukan pemujaan kepada Tuhan meski hanya dengan mengucapkan nama-nama suci Beliau baik melalui nyanyian (sankirtana) ataupun dengan berjapa. Sloka-sloka pembenaran atas hal ini dapat anda baca lebih jauh pada kutipan-kutipan sloka yang saya tuliskan pada artikel sebelumnya, yaitu “Hari-Nama Sankirtana”.
Dengan demikian, haruskan kita mengeluarkan uang jutaan mahkan milyaran rupiah hanya untuk berbagai macam bebantenan? Kenapa uang sebanyak itu tidak digunakan untuk membangun sekolah Hindu, Pasraman dan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia Hindu? Tidak bisakah berbagai macam upacara besar tersebut digantikan dengan sarana yang sederhana dan dengan pelantunan nama-nama suci Tuhan lewat kekidung, geguritan atau palawakya?
Padahal kalau kita memandang kilas balik budaya Bali ke belakang, sesungguhnya wajah budaya Bali 100 tahun yang lalu sangat berbeda dengan yang ada saat ini. Pergerakan budaya Bali sangatlah dinamis. Cara berpakaian orang Bali jaman dulu dengan sekarang jauh berbeda, jika dulu ke pura hanya dengan menggunakan kain jarik dan bertelanjang dada, sekarang kita telah menggunakan jas safari. Buah-buahan persembahan yang dulu menggunakan hasil pertanian setempat, sekarang sudah digantikan dengan berbagai buah-buahan import yang mahal. Pawai ogoh-ogoh baru tercipta pada tahun 80-an dan berbagai arsitektur tempat sucipun telah mengalami modernisasi. Melihat dari kenyataan ini dan dengan didorong oleh tekanan modernisasi yang menerjang Bali, tidakkan evolusi budaya dengan perubahan pola pikir, kebiasaan dan upacara yang mengarah pada simplicity demi ajeg Bali dan ajeg Hindu dapat kita lakukan? Toh juga jika kita mengaku sebagai agama Hindu, Veda tidak pernah menyalahkan kesederhanaan seperti ini kan?

http://narayanasmrti.com/archives/958

Thursday, May 7, 2015

LINGGA YONI

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lingga Yoni
Pengertian mengenai Lingga-Yoni, yaitu sebagai lambang alat reproduksi lelaki dan perempuan.Dalam kamus Jawa Kuna Indonesia mendefinisikan: “Linga  tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti keterangn, petunjuk; Lingga, lambang kemaluan lelaki (terutama Lingga Siwa dibentuk tiang batu), patung dewa, titik tugu pemujaan, titik pusat, pusat poros, sumbu”. “Yoni  rahim, tempat lahir, asal Brahmana, Daitya, dewa, garbha, padma, naga, raksasa, sarwa, sarwa batha, sudra, siwa, widyadhara dan ayonia.
Bentuk Yoni yang ditemukan di Indonesia pada umumnya berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, seringkali di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan laubang yang membentuk cerat. Pada penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Beberapa ahli mengemukakan bahwa bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), Jagati, Padma, Kanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga atau arca.

2.2  Lingga Yoni Sebagai Pratima
Seperti yang telah dibahas sebelumnya pratima merupakan perwujudan-perwujudan, bentuk, arca, personifikasi. Demikianlah perwujudan itu tidak merupakan bentuk yang sebenarnya(asli) dari dewa, tetapi sebagai manifestasi dari bentuk dewa, dan itulah sebabnya mereka yang menghormat langsung kepada dewa(tuhan).  Salah satu bentuk manifestasi dari dewa tersebut salah satunya adalah berupa Lingga Yoni. Lingga dan Yoni mempunyai suatu arti dalam agama setelah melalui suatu upacara tertentu. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan mereka.
Lingga Yoni merupakan salah satu bentuk ikon Siva yang paling banyak digunakan, ditemukan hampir di semua mandir Siva. Bentuknya bundar, eliptik, citra aniconic, biasanya diletakan di atas dasar bundar, atau pitha. Sivalinga adalah simbol paling kuno paling sederhana dan Siva, khususnya Parasiva, Tuhan di luar semua bentuk dan sifat-sifat. Pitha merepresentasikan Parashakti, kekuatan Tuhan.
The Oxford Dictionary of World Religions menambahkan: “Lingga adalah simbol energi generatif. Menyebut ini sebagai “phallic worship” (pemujaan palus) adalah salah secara total memahami represenrasi secara miniatur atau bentuk simbolik, menciptakan dan melepaskan kekuatan dengan mana dia diasosiasikan.”Ada perbedaan sangat mendasar antara dua definisi pertama dengan dua definisi terakhir.  Lingga sebagai simbol Ayah (Tuhan) dan Yoni sebagai Ibu (pertiwi), sebagai alam semesta, telah dipuja oleh umat Hindu sejak 3.500 tahun sebelum masehi. Lingga dan Yoni diwujudkan menjadi tempat suci atau bangunan suci dalam bentuk arca pelinggih, candi, seperti bangunan Padmasana yang kita kenal sekarang. Ciri utama yang melekat pada bangunan arsitektur suci “Lingga” atau “Linga” adalah:
1.      Wujud Lingga, bentuk vertikal, ujung oval, umumnya terbuat dan batu andesit sebagai wujud cahaya Brahman yang transendental untuk menciptakan alam semesta beserta isinya.
2.      Aksara “OM”(AUM), gema suara Brahman dan simbol kekuatanNya untuk penciptaan.
3.      Bangunan Suci “Yoni” tempat tegaknya “Lingga” untuk menciptakan alam semesta, dengan kelengkapan kekuatan Bedawangnala (naga, kura-kura) yang didepannya Nandi, mengawal, menjaga keseimbangan ciptaan Nya.
Dalam Ganapatitattwa perwujudan batara siwa dilambangkan dengan lingga. Lingga pada hakekatnya mempunyai arti , peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umum nya di bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci sepeti pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikaan oleh masyarakat setempat. Lingga berasal dari bahasa sansekerta yang berate tanda, cirri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambing kemaluan laki-laki terutama lingga dewa siwa dalam bentuk tiang batu, patung dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu.
Sedangkan pengertian yang umum di temukan dalam bahasa bali, bahwa lingga di identikan dengan: linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama hindu di bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih dewa siwa. Dalam siva purana salah satu nama siwa Lingadhyaksa(dewa pemimpin Lingga).

2.3 Fungsi Lingga Yoni
Beberapa fungsi Lingga dan Yoni adalah sebagai berikut:
1.       Sejak abad ke 8 yaitu Prasasti Canggal telah menyebutkan bahwa seorang raja mendirikan lingga dan Yoni untuk mengukuhkan kedudukannya. Di Kamboja sendiri sudah menjadi kebiasaan bagi seorang raja mendirikan lingga untuk mengukuhkan kedudukannya di atas takhta. Lingga – Yoni demikian, yang sejak Jayawarman II disebut “Dewaraja”, diberi nama yang menggambarkan perpaduan antara raja yang mendirikan dengan sang dewa yang menjadi pemujanya (Siwa).
  1. Lingga yang didirikan juga untuk memperingati suatu peristiwa penting, seperti menang dalam perang.
Dari data-data prasasti yang ditemukan, untuk sementara dapatlah dianggap bahwa di sebuah desa setidak-tidaknya terdapat sebuah bangunan suci. Tetapi mungkin juga ada desa yang tidak mempunyai bangunan suci. Di dalam sebuah bangunan suci terdapat arca dewa yang merupakan arca perwujudan atau wakilnya yang disebut lingga. Arca atau lingga itu berdiri di atas landasan yang disebut pranala atau yoni.
Petunjuk yang menyebutkan bahwa yoni ditempatkan di dalam bangunan, didapatkan pada prasasti dari jaman Majapahit, yaitu prasasti Tuhanaru dari tahun 1323 M, prasasti Bendosari dari tahun 1350 M, dan prasasti Batur yang angka tahunnya sudah hilang. Di dalam prasasti-prasasti itu yoni disebut pranala, sedangkan yang terletak di atasnya adalah arca atau lingga. Dalam kenyataannya, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, banyak ditemukan yoni dalam kaitannya dengan bangunan.
Disamping yang terletak di dalam bangunan, ada juga yoni yang ditemukan mandiri. Petunjuk tentang itu didapatkan dari prasasti yang berkenaan dengan penetapan suatu daerah menjadi sima. Mungkin yang dimaksud dengan yoni di dalam prasasti-prasasti ini adalah sang hyang kulumpan. Pada waktu upacara penetapan sima, sang hyang kulumpan diletakkan di tengah lapangan upacara, dikelilingi oleh para pejabat yang hadir dalam peresmian tersebut, dan berfungsi sebagai tanda sima. Atas dasar kenyataan-kenyataan di atas, dapat diduga bahwa yoni selalu berhubungan dengan pemukiman. Sehingga dapat dipakai sebagai petunjuk pemukiman “masa klasik”, dan persebaran yoni juga merupakan persebaran pemukiman.
Umumnya yoni ditemukan di dalam sebuah bangunan suci yang disebut candi atau ditemukan bersama sisa bangunan. Di dalam bangunan ini yoni dipakai sebagai landasan arca atau lingga. Dapat dikemukakan sebagai contoh misalnya, yoni yang ditemukan di dalam bangunan induk candi Sambisari. Di candi ini yoni dipakai sebagai landasan sebuah lingga. Lain halnya dengan yoni yang ditemukan di candi Lara-Jonggrang. Di dalam bangunan ini yoni berfungsi sebagai landasan arca siwa. Petunjuk tentang adanya yoni yang ditempatkan di dalam bangunan, terdapat pada prasasti dan kitab Nagarakertagama dengan istilah pranala.
Dari sumber-sumber sejarah yang berasal dari jaman Jawa Tengah dan jaman Jawa Timur tentang istilah untuk Yoni, dapat disimpulkan bahwa Yoni mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
  1. Yoni yang berpasangan dengan lingga disebut juga sang hyang kulumpan dengan sang hyang susuk yang dipuja pada waktu penetapan sima, dan bahkan sebagai pusatnya, dan
  2. Yoni yang berpasangan dengan lingga atau arca perwujudan disebut juga pranala yang dipuja di dalam bangunan, berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan lingga atau arca perwujudan.
Pada jaman Budhisme dan jaman Jain terjadi bersamaan. Terdapat dengaruh luas Budha Mahayana di beberapa wilayah di india, Cina dan Tibet. Dikala itu, muzhab Budha Mahayana pecah menjadi dua aliran yang keduanya memeluk kebudayaan Tantra. Shiwa dari Pasca-Shiwa Tantra di terima oleh Budha Tantra dan pengikut-pengikut kelompok kedu ini lebih memilih untuk memuja Siwa-Lingga dari pada memuja Patung Shiwa.


2.4 Makna Lingga Yoni

            Dalam Lingga Purana di jelaskan makna lingga adalah symbol Dewa Siwa(Siwa Lingga). Seperti filosofis yang terkandung di dalamnya. Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa dalam hal ini sebagai symbol pemujaan terhadap Tuhan itu sendiri yang diyakini sebagai Sang Pencipta. Kemudian di dalam Siwarti kalpa di sebutkan lingga merupakan symbol siwa yang di puja untuk memuja siwa. Kitab Siwa Purana dan Siwaratri Kalpa karya Empu Tanakung ini semakin memperkuat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudan sebagai Siwa. Dapat di tambahkan seorang intelektual Hindu Swami Harshananda pada Sri Ramakrisnha Ashrama menyebutkan Lingga dan Yoni sebagai Simbol Tuhan God dan umat Hindu yang universal: secara literal Siva artinya keberuntungan dan Lingga artinya satu tanda atau satu symbol. Dari sini Sivalingga adalah satu symbol Tuhan yang agung dan semesta yang sepenuhnya adalah keberuntungan. Siva juga berate Yang Esa yang di dalamnya seluruh ciptan istirahat setelah mahapralaya. Lingga juga berati hal sama dimana  obyek-obyek ciptaan dipralina selama disintegrasi dan semesta ciptaan, memelihara dan menarik alam semesta ke dalam dirinya. Maka sivalingga merepresentasikan bahwa Tuhan sendiri secara simbolik.  Ada juga di sebutkan bahwa Lingga lambing api, sebagai lambing dari kekuatan atau kekuasaan, sedangkan Yoni merupakan lambangkan bumi keduanya itu saling bertolak belakang, namun bila keduanya bersatu akan melahirkan kekuatan atau energi, itulah makna pertemuan antara lingga dan yoni.

TUGASKU : SUNDARA KANDA_RAMAYANA


PEMBAHASAN

2.1 Ringkasan Cerita Sundara Kanda
Sundara Kanda merupakan kanda yang kelima dari sapta kanda Ramayana. Dalam Sundara Kanda terdapat cerita Ramayana yang diawali dengan keberangkatan Sang Hanuman mencari Dewi Sita yang diculik oleh Ravana kemudian dibawa ke negeri Lengka. Sang Hanuman melakukan lompatan, kemudian  terbang melewati langit menuju negeri Lengka. Kecepatan Sang Hanuman terbang melebihi kecepatan pikiran, dan tak tertandingi oleh Garuda, Surya, dan Angin. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan raksasi yang bengis dan ingin memakannya hidup-hidup. Sang Hanuman yang kuat dan cerdik dapat mengalahkan raksasi tersebut dengan membunuhnya. Raksasi tersebut ialah Si Dakini yang perutnya dirobek oleh Sang Hanuman dan Si Wikataksini yang lehernya berhasil dirobek oleh Sang Hanuman.
Setelah melewati samudra yang amat luas, Sang Hanuman sampai di Gunung Swela. Kembali ia melihat raksasa buas sedang mencari mangsa. Sang Hanuman berhasil bersembunyi, dan melanjutkan perjalanannya dengan melewati sebuah sungai. Sang Hanuman sampai di negeri Lengka pada malam hari. Ia melihat raksasa yang sedang membawa obor untuk menjaga kerajaan. Sang Hanuman berhasil menyusup ke dalam kerajaan dengan cara menjelma seperti raksasa yang ada disana.
Sang Hanuman melihat taman yang indah dan sangat luas diarah timur kerajaan. Taman tersebut bernama Taman Angsoka karena terdapat banyak bunga yang indah dan sedang mekar disana. Sang Hanuman segera menuju kesana  dengan cara mengubah tubuhnya menjadi tupai agar mampu meloncat-loncat di dahan-dahan bunga sehingga tidak diketahui oleh raksasa penjaga kerajaan. Ketika ia sesekali melihat kebawah, ia melihat Dewi Sita yang kurus dan berpakaian yang sangat lusuh sedang dijaga ketat oleh para raksasa. Kemudian datanglah Ravana merayu Dewi Sita, tetapi ia tetap pada pendiriannya, yaitu setia dan cinta kepada Sang Rama. Dewi Sita mencaci maki Sang Ravana sehingga menyebabkan ia murka dan menghunuskan kerisnya kepada Dewi Sita. Dewi Sita tetap pada pendirianya, Sang Ravana pun pergi.
Sang Trijata adalah raksasi yang baik hati yaitu putri dari Wibisana. Sang Trijata menjaga Dewi Sita di Taman Angsoka. Dewi Sita pun menceritakan semua kesedihan dan  kerinduannya terhadap Sang Rama kepada Sang Trijata. Menyaksikan hal tersebut, Sang Hanuman segera mendekat untuk menyampaikan kerinduan Sang Rama.
Dewi Sita sangat terkejut melihat kedatangan Sang Hanuman, ia awalnya mengira bahwa  itu  adalah penjelmaan Sang Ravana menjadi seekor kera yang jinak. Setelah melihat Dewi Sita curiga, Sang Hanuman pun menunjukkan cincin kesetiaan Sang Rama. Sang Hanuman menyampaikan semua keadaan Sang Rama semenjak mereka berdua terpisahkan dan ia juga menyampaikan bahwa sekarang Sang Rama tinggal di Gunung Maliawan. Akhirnya Dewi Sita pun menerima cincin Sang Rama dan segera menitipkan cudamani untuk Sang Rama. Kesedihan Dewi Sita berangsur pergi setelah mengetahui tujuan Sang Rama. Dewi Sita juga menyampaikan kerinduan yang amat dalam kepada Sang Rama. Sang Hanuman sangat senang karena berhasil menjalankan kewajibannya untuk mencari Dewi Sita. Lalu ia menyembah dan lekas pergi untuk menghancurkan kerajaan milik Sang Ravana dengan tujuan meminimalisir kekuatan dari pihak Sang Ravana. 
Sang Hanuman menghancurkan Taman Angsoka, pohon-pohon pun tumbang dan bunga-bunga berguguran. Binatang-binatang berhamburan dan penjaga istana berlarian untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Ravana. Mendengar kejadian tersebut, Sang Ravana menjadi sangat murka. Dengan cepat ia memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menyerang dan membunuh Sang Hanuman. Karena kekuatannya, Sang Hanuman berhasil mengalahkan banyak prajurit raksasa. Raksasa yang masih hidup kembali melaporkan kejadian tersebut kepada rajanya. Sang Ravana memerintahkan para hulu balang untuk menyerang Sang Hanuman, akhirnya Sang Hanuman pun memenangkan peperangan tersebut. Dengan mudah Sang Hanuman menghancurkan mereka, mayat-mayat pun bergelimpangan di medan perang.
Sang Aksa yang amat sakti adalah putra Sang Ravana. Sang Aksa sangat ahli memanah, dengan anak panahnya ia menyerang Sang Hanuman. Tetapi panah tersebut tidak dapat menghancurkan Sang Hanuman.  Sang Aksa akhirnya dapat dikalahkan oleh Sang Hanuman menyerang dengan mengunakan kayu sampai memutuskan tangan Sang Aksa, akhirnya Sang Aksa gugur dalam perang.
Setelah sempat beristirahat, kemudian datang Sang Indrajit menghampiri Sang Hanuman untuk membalas dendam. Sang Indrajit juga bernama Sang Meganada, Sang Hanuman menantang Sang Indrajit untuk berperang. Sang Indarjit sanat merasa tertantang, kemudian ia menyerbu Sang Hanuman dengan para prajuritnya. Peperangan terjadi dengan sengit, anak panah yang dikeluarkan oleh para raksasa menyatu dengan panah sang Indrajit untuk menghancurkan Sang Hanuman. Tetapi anak panah tersebut tidak dapat mengusik badan Sang Hanuman. Sang Hanuman dapat menjelma menjadi banyak, dengan jumlah yang tak terhitung, bahkan sampai ada ribuan Hanuman. Penyerangan para raksasa sia-sia dan tak membuahkan hasil, mereka kepayahan karena mengejar ribuan Hanuman kesana-kemari. Sang Hanuman memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mengambil dahan kayu untuk memukul para raksasa sampai mati.
Sang Hanuman diserang kembali oleh Sang Indrajit. Sang Indrajit kembali memanah Sang Hanuman dengan memacu keretanya dengan cepat. Kekalahan kembali menghampiri Sang Indrajit, penyerangannya hanya sia-sia karena tak dapat mengusik Sang Hanuman. Kuda Sang Indrajit juga menyerang Sang Hanuman, dengan cepat Sang Hanoman melompat dan merobek perut kuda tersebut dengan kukunya, akhirnya kuda tersebut mati. Sang Indrajit kembali mengerahkan kuda yang amat sakti untuk menyerang Sang Hanuman dan mengerahkan prajurit perang dengan jumlah yang sangat banyak. Para prajurit tersebut berbaris rapat, kemudian semuanya melepaskan anak panah untuk menyerang Sang Hanuman.  Anak panah yang rapat tertimbun, jika dalam peperangan sampai terjadi keadaan seperti ini, jarang sekali ada yang bisa melawan. Anak panah berhasil menancap pada badan Sang Hanuman, tetapi ia membiarkan begitu saja sebagai simbol keberaniannya, Sang Indrajit merasa sangat terhina melihat hal tersebut.
Sang Indrajit kembali menyerang Sang Hanuman dengan panah nagapasa.  Panah tersebut berwujud ular yang sangat besar dan panjang, dengan gigi yang menakutkan. Tangan dan paha sampai ke lutut Sang Hanuman dililit oleh ular tersebut, tulang rusuk dan dadanya terjepit sampai ia roboh dan terjatuh. Tetapi jatuhnya Sang Hanuman hanya tipuan belaka agar ia dapat bertemu dengan Sang Ravana. Sang Hanuman terlihat tak berdaya, sehingga para raksasa bergemuruh. Sang Indrajit memerintahkan agar Sang Hanuman diangkat dan dihadapkan kehadapan Sang Ravana, agar Sang Ravana mengetahui bahwa panah nagapasa tak tertandingi.
Sang Ravana sangat murka dan memerintahkan untuk membunuh Sang Hanuman dengan cara dibungkus dengan benda-benda yang tipis yang mudah terbakar. Sang Hanuman pun dibakar, tetapi tiba-tiba ia membesar sebesar Gunung Semeru. Dengan cepat ia melayang diudara dan melompat dari bangunan ke bangunan yang lain menyebarkan kobaran api. Setelah Istana Lengka terbakar, Sang Hanuman menemui Dewi Sita di taman Angsoka untuk menyampaikan bahwa ia akan kembali pulang.
Sang Hanuman menghadap kepada Sang Rama untuk mempersembahkan Cudamani dan sepucuk surat dari Dewi Sita. Sang Rama tidak berdaya setelah membaca surat tersebut, karena besarnya rasa cinta, rindu, dan kasih sayang  Dewi Sita. Selanjutnya dalam surat tersebut Dewi Sita meminta agar menjemputnya dan agar istana Alengka dihancurkan. Sang Hanuman menyampaikan keadaan Dewi Sita yang bersedih karena berpisah dengan Sang Rama. Sang Rama bersama Sang Laksamana, Sang Sugriwa dan pengikutnya berangkat menuju Istana Alengka. Sesampainya disana, Sang Rama melihat Istana Lengka yang terbakar. Pada malam harinya Sang Rama merasakan kebingungan karena besarnya rasa cinta dan rindu beliau kepada Dewi Sita. Sang Laksamana yang sangat bijaksana pun meningatkan beliau agar Sang Rama tidak bingung karena Sang Rama telah tersohor dengan keteguhan iman dan kebijaksanaannya. Berkat pesan dari Sang Laksmana, Sang Rama kembali bersenang kembali. Demikianlah ringkasan cerita dari Sundara Kanda dalam cerita Ramayana.

1.2  Nilai-nilai Luhur Yang Terkandung didalam Sundara Kanda
Dari uraian tentang kisah cerita Ramayana khususnya pada bagian Sundara Kanda, maka dapat kita petik nilai – nilai luhur yang terkandung didalamnya yang nantinya bisa dijadikan sebagai pedoman didalam kehidupan bermasyarakat, menjadi cerminan bagi generasi – generasi muda zaman sekarang dalam bertindak dan melakukan hal – hal yang positif di era yang serba modern ini. Berikut adalah nilai – nilai yang terkandung didalam Sundara Kanda, yaitu :

a.    Nilai Kepahlawanan
Dalam pembabakan ini tersurat  nilai kepahlawanan, yaitu  bagaimana menjadi orang yang berani, tidak mengenal menyerah, kuat, cerdik, dan dapat dipercaya dalam menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab.
Nilai tersebut terdapat dalam penggalan cerita yaitu, Sang Hanuman yang menjadi utusan Sang Rama pergi ke Alengka untuk mencari Dewi  Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri dan membakar ibukota Alengka. Dalam babak ini yang menjadi tokoh utama tidak lain adalah Hanoman. Sang Hanoman yang taat akan perintah dari Rajanya Sugriwa dan Rama sendiri. Hanoman yang mengemban amanat untuk menemukan Sitha di kerajaan Alengka, dengan teliti menyusuri setiap tempat yang ia lalui, setibanya dari Alengka. Hanoman menjalankan amanah yang diberikan oleh Rama dengan baik, ia berhasil menemukan keberadaan Sita dan membawa informasi tentang situasi di Kerajaan Alengka.
b.   Nilai Kesetiaan
Nilai kesetiaan antara Sang Rama dengan Dewi Sita tersurat dalam beberapa penggalaan cerita. Nilai kesetiaan dari Sang Rama kepada Dewi Sita yaitu, ketika ia mengutus Sang Hanuman untuk mencari Dewi Sita dan menitipkan cincinnya sebagai tanda kesetiaan Sang Rama. Nilai kesetiaan dari Dewi Sita kepada Sang Rama, pada saat Sang Ravana merayu Dewi Sita, tetapi ia tetap pada pendiriannya, yaitu setia dan cinta kepada Sang Rama. Cudamani yang dipersembahkan kepada Sang Rama adalah bukti kesetiaan dari Dewi Sita.
c.    Nilai Kebijaksaan
Nilai kebijaksaan disampaikan oleh:
-          Sang Laksmana pada saat ia memberikan saran dan mengingatkan Sang Rama agar tidak menjadi kebingungan karena rindunya kepada Dewi Sita.
-          Sang Wibisana saat memberikan nasihat kepada Sang Rahwana agar ia mencabut kembali perintahnya untuk membunuh Sang Hanuman.
-          Sang Hanuman ketika menyampaikan beberapa saran kepada Sang Rahwana sebelum ia dibakar.
d.   Ajaran Dharmasastra
Ajaran Dharmasastra adalah ajaran yang memuat tentang pokok – pokok ajaran agama Hindu, tentang hukumnya, adat kebiasaan, hak dan kewajiban, sosial, polotik, ekonomi dan lain – lain termasuk upacara keagamaan, bahkan yang terpenting dalam wiracarita Ramayana ini khususnya pada Sundara Kanda ialah ajaran – ajaran Dharmasastra yang meliputi kewajiban – kewajiban yang harus dimiliki oleh seorang raja, demi terciptanya kerukunan serta kesejahteraan rakyat, juga kedamaian dunia.
Ajaran Dharmasastra dalam Sundara Kanda tercermin dalam adegan atau penggalan cerita ketika Sang Rahwana memerintahkan Sang Meganada beserta seluruh sekutu raksasanya untuk membunuh Sang Hanuman yang tengah terbebat oleh panah nagapasa. Perintah Sang Rahwana ini ternyata menimbulkan reaksi yang sifatnya jauh bertentangan dengan pikirannya sendiri. Disini secara kebetulan Sang Wibisana datang memberikan nasihat agar Sang Rahwana mencabut kembali perintahnya itu, karena menurut ajaran Dharmasastra; maka perbuatan membunuh utusan sama sekali tidak dibenarkan. Sang Hanuman juga memberikan beberapa saran kepada Sang Rahwana sebelum ia dibakar dalam keadaan hidup.

Isi dan makna spiritual yang tercermin dalam nasihat serta saran – saran dari Sang Wibisana dan Sang Hanuman itu tiada lain adalah bagian – bagian terpenting dari ajaran Dharmasastra yang sangat mulia. Misalnya pada salah satu nasihat Sang Wibisana yang menyatakan bahwa “perlunya mengikuti ajaran Dharmasastra” dan “tidan boleh membunuh utusan” (sojarngaji ya pituhun, duta tan dadi pinejahan).

SEJARAH SINGKAT PURA AGUNG BATAN BINGIN DESA PEJENG KAWAN, KEC.TAMPAK SIRING

Bila dicermati dari tinggalan-tinggalan purbakala yang ada di Pura Agung Batan Bingin, seperti Arca Budha di Ratu Melanting dan arca-arca ya...