Saturday, October 31, 2015

RITUAL PAWIWAHAN DALAM HUKUM HINDU SERTA FENOMENA – FENOMENA YANG MUNCUL

BAB I
PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut "Yatha sakti Kayika Dharma" yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.
Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.
Dalam urusan pernikahan di Bali terkadang muncul beberapa masalah, salah satunya pernikahan beda kasta dan fenomena hamil di luar nikah. Kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah yang cukup rumit. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi. Untuk menghindari masalah yang demikian, diperlukan pemahaman yang benar mengenai hal – hal tersebut.

1.2              RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1        Apakah pengertian perkawinan, tujuan, dan sistem perkawinan menurut Hindu?
1.2.2        Bagaimana syarat perkawinan dan pelaksanaannya menurut hukum Hindu?
1.2.3        Apa saja  fenomena – fenomena permasalahan yang sering muncul dalam ritual perkawinan Hindi di Bali pada dewasa ini?

1.3              TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah makan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang pengertian perkawinan atau pawiwahan, tujuan, sistem pawiwahan dalam veda, syarat dan pelaksanaan pawiwahan menurut hukum Hindu, serta mengenai fenomena – fenomena permasalahan yang muncul dalam ritual pawiwahan Hindu di Bali dewasa ini. Selain itu, pemaparan materi ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kita mengenai upacara – upacara ritual Hindu di Bali khususnya menyangkut masalah pawiwahan dan membangkitkan minat kita semua untuk menengok sekejap mengenai fenomena – fenomena yang terjadi disekeliling kita, agar kita bisa mencermati dan membandingkannya dengan apa yang telah tertuang dalam kita suci Veda apakah hal tersebut bisa dianggap benar ataukah tidak.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1            PENGERTIAN PAWIWAHAN (PERKAWINAN)
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata   pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata  wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130). Pengertian   pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian   pawiwahan tersebut antara lain:
1.      Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1  dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
2.      Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
3.      Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
4.      Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
5.      Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4). 
6.      Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala  niskala  (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi)“(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:   pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
2.1.1        TUJUAN WIWAHA MENURUT AGAMA HINDU
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama  untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
Artinya : “Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Kitab Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan wiwaha dalam agama Hindu mewujudkan 3 hal, meliputi:
1.      Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
2.      Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan / pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/ keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka”. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
3.      Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: “Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102  sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah, Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau, Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”  ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan  wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).


2.1.2    SISTEM PAWIWAHAN DALAM VEDA
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:
1.      Brahma  wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita. (Manawa Dharma Sastra, III. 27)
2.      Daiwa  wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara. (Manawa Dharma Sastra, III.28)
3.      Arsa  wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci. (Manawa Dharma Sastra, III.29) Prajapatya  wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki. (Manawa Dharma Sastra, III.30)
4.      Asuri  wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita. (Manawa Dharma Sastra, III. 31)
5.      Gandharva  wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharma Sastra, III.32)
6.      Raksasa  wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang. (Manawa Dharma Sastra, III. 33)
7.      Paisaca  wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang. (Manawa Dharma Sastra, III.34
2.2            SAH DAN SYARAT PERKAWINAN
Sistem  perkawinan di Indonesia  dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil.
Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berbunyi; “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu tindakan administrasi. Hal tersebut diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan, karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974  dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka  syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
1.      Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada  persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua.  Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah.
Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
2.      Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan  dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
3.      Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
4.      Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra  II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah, iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan  syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1)      Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2)      Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3)      Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4)      Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña  harus diyakini kebenarannya. Yajña  tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5)      Lascarya artinya suatu yajña  yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6)      Sastra artinya suatu yajña  harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña  disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaanyajña.
7)       Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8)      Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña  harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9)      Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña  hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10)  Nasmita artinya suatu upacara yajña  hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
2.2.1    PERKAWINAN MENURUT HUKUM HINDU
Sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum hindu itu adalah apabila sesuai atau tidak dengan persyaratan yang ada. Suatu perkawinan Dikatakan sah menurut hokum hindu ialah :
1.      Perkawinan dikatakan sah apabila saat wiwaha dilakukan oleh rohanian seperti  Brahmana atau pandita. Dan juga bisa dilakukan oleh pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
2.      Perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama hindu
3.      Berdasarkan tradisi di bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara biakala sebagai rangkaian upacara wiwaha.
4.      Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
5.      Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, tidak pernah haid, atau sehat jasmani dan rohani.
6.      Calon mempelai cukup umur bagi pria berumur minimal 21 tahun dan wanita berumur minimal 18 tahun.
7.      Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat, atau sapinda.
8.      Untuk di Bali upacara perkawinan agar dilakukan:
-          Dirumah pihak yang akan berkedudukan purusa
-          Diberi tirta pemuput oleh Rohaniawan
-          Adanya sajen petak kepada Bhatara bhatari, leluhur dan Hyang Widhi
-          Adanya sajen yang diperuntukan persaksian terhadap Buta sebagai mahluk bawahan
-          Adanya sajen yang diayab bersama oleh mempelai
-          Kehadiran para saksi seperti perangkat Desa atau banjar dan warga yang lain.
·         Perkawinan dilarang atau dicegah apabila :
-          Calon mempelai berhubungn darah dala garis keturunan lurus keatas dan kebawah
-          Berhubungan darah daalam garis keturunan memanjang yaiyu antara saudara dengan saudara orang tua
-          Berhubungan semenda, yaitu Mertua. Anak tiri, Menantu, daan Ibu/bapak tiri
-          Berhubungaan saudara dengan istri atau sebagai Bibi atau kemenakan dari Istri dalam hal seorang Suami beristri lebih dari seorang.
·         Sarana dan Tata cara Perkawinan
Sarana upacara perkawinan dalam agama Hindu mengenal tiga tingkat yang terdiri dari : tingkat sederhana, tingkat menengah dan tingkat paling besar. Sarana upacara yang paling sederhana terdiri dari :
-     Air
-     Api/dupa
-     Bunga/daun
-     Buah
-     Saksi – saksi
-     Hari baik /dewasa
-     Pendeta/pinandita
Sarana tersebut diatas tidak dapat ditinggalkan dalam pelaksanaan upacara perkawinan Hindu. Sedangkan tingkatan sarana upacara perkawinan Hindu dalam bentuk menengah dan besar dapat disesuaikan dengan desa, kala, patra.
Adapun tata cara perkawinan Hindu menurut Drsta di Bali adalah sebagai berikut:
·         Vivaha Samskara Menurut Drsta di Bali
Perkawinan Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu : kecil/nista, sedang/madya, besar/utama. Walau menjadi tiga tingkatan namun nilai spiritualnya sama.
A.    Tata Cara Upacara
-          Penyambutan kedua mempelai
Sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsur – unsur negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak mengganggu jalannya upacara.
-          Mabyakala
Mabyakala adalah upacara untuk membersihkan lahir bathin terhadap kedua mempelai terutama sukla swanita yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi suputra.
-          Mapejati atau pesaksian
Mapejati merupakan upacara kesaksian tentang pengesahan perkawinan kehadapan Hyang Widhi, juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah mengikat diri sebagai suami istri yang sah.
B.     Sarana / Upakara
Jenis upacara yang digunakan pada upacara ini secara sederhana adalah :
-     Banten pemapag, segehan, dan tumpeng dadanan
-     Banten pesaksi, pras daksina, ajuman
-     Banten untuk mempelai, byakala, banten kurenan dan pengulap pengambean
Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti :
1.      Papegatan
Berupa dua buah canang, dadap yang ditancapkan ditempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan terentang.
2.      Tetimpug
Beberapa pohon bambu kecil yang masih muda dan ada ruasnya sebanyak lima ruas atau tujuh ruas.
3.      Sok Dagang
Sebuah bakul berisi buah – buahan, rempah – rempah, keladi
4.      Kala Sepetan
Disimboliskan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benang tridatu, diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun dadap. Kala sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima pakala – kalaan.
5.      Tegen – Tegenan
Batang tebu atau carang dadap yang kedua ujungnya diisi gantungan bingkisan nasi dan uang.
·         Jalannya Upacara
1.      Upacara penyambutan kedua mempelai
Begitu calon mempelai masuk pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara mesegehan dan tumpeng dandanan
2.      Upacara mabyakala
Sebelum upacara ini dimulai dengan upacara puja astiti oleh pemimpin upakara. Pelaksanaannya kedua mempelai melangkahi tetimpug sebanyak tiga kali dan selanjutnya banten pabyakalaan. Kemudian natab pabyakalaan. Masing – masing ibu jari kedua mempelai disentuhkan dengan telur ayam mentah didepan kaki sebanyak 3 kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat dengan penglukatan, lalu berjalan mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut Murwa Daksina. Saat berjalan mempelai wanita berada didepan sambil menggendong sok dagangan, diiringi dengan mempelai pria dengan memikul tegen – tegenan. Setiap melewati kala sepetan kakinya yaitu ibu jari kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul   lambang kala sepetan. Mempelai wanita saat berjalan dicemeti (dipukuli) dengan tiga buah lidi oleh si pria sebagai simbul telah terjadi kesepakatan untuk sehidup semati. Yang terakhir kedua mempelai memutuskan benang papegatan sebagai tanda mereka kedua telah memasuki hidu Grhasta.
3.      Upacara Mapejati atau Persaksian
Dalam upacara pesaksian kepada Hyang Widhi, maka kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebanyak lima kali. Setelah mebakti kedua mempelai diperciki tirtha pembersihan oleh pemimpin upacara. Kemudian natab banten Widhi Wadhana dan majaya – jaya.
Dengan demikian maka selesailah pelaksanaan samskara vivaha. Selesai vivaha samskara adalah penandatanganan surat perkawinan oleh kedua belah pihak dihadapan saksi dan pejabat yang berwenang.

2.3            FENOMENA PERMASALAHAN YANG SERING MUNCUL DALAM RITUAL PERKAWINAN HINDU DI BALI DEWASA INI

2.3.1        PERKAWINAN BEDA KASTA (WARNA/WANGSA) DALAM MASYARAKAT HINDU  DI BALI
Pada uraian ini akan membahas tentang Perkawinan Beda Kasta di Bali. Saat ini masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta. Saat ini bisa dikatakan kasta di Bali yang saya tahu terdiri dari 3 bagian yaitu :
§  Golongan 1 : Ida Bagus dan lainnya
§  Golongan 2 : Cokorda, Anak Agung, Gusti dan lainnya
§  Golongan 3 : Tidak berkasta



Kasta Dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat di Bali
Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang berkasta menggunakan bahasa Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang selevel dan level di atasnya. Sementara ketika berbicara dengan orang yang berkasta lebih rendah, orang yang memiliki kasta lebih tinggi kadang dianggap bisa menggunakan bahasa yang biasa atau lebih frontalnya ‘kasar’. Dalam kegiatan sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih tinggi juga biasanya lebih dihormati. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan secara ekonomi lebih mampu alias kaya.
Tentu tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang tidak berkasta namun tetap dihormati. Dan kembali kepada masing-masing orang karena pada kenyataannya tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang hormat kepada mereka yang berkasta.
Pernikahan
Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi. Sebenarnya Hindu tidak mengenal kasta, yang dikenal adalah warna (berdasarkan profesi) atau wangsa (berdasarkan keturunan). Dalam sistem sosial-budaya Bali, yang kita kenal adalah wangsa, yakni silsilah keluarga berdasarkan garis keturunan. Akan tetapi dalam kenyataan dimasyarakat istilah kasta lebih populer dan dikenal, meskipun yang pada dasarnya tidak ada sistem kasta dalam agama Hindu. Baik menurut hukum agama maupun hukum negara, tidak ada hukuman atau ganjaran bagi orang yang menikah beda kasta/wangsa.  Sistem sosial dan budaya Bali menganut sistem Patrilineal. Dalam sistem patrilineal, maka hukum adat yang berlaku adalah mengikuti garis keturunan, wangsa, dan waris suami. Mungkin yang kita tahu bahwa seorang laki-laki dengan kasta (wangsa) bawah yang menikah dengan wanita kasta atas tidak bisa ikut kasta wanita tersebut, sedangkan jika wanita kasta (wangsa) bawah menikah dengan laki-laki kasta atas maka si wanita itu bisa ikut kasta laki-laki tersebut.
Ternyata secara agama tidak dijelaskan akibat dari seorang yang menikah beda kasta. Tetapi, secara sosio-religius konseksuensinya adalah si wanita harus mengikuti silsilah keluarga suami, karena si wanita sudah masuk ke dalam silsilah keluarga sang suami. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain).
Perkawinan beda kasta sudah ada sejak dulu dan beberapa keluarga yang dulunya berasal dari wangsa yang berbeda, sekarang juga bisa hidup rukun dan membina keluarga dengan baik. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah komunikasi yang baik antara dua keluarga dari calon mempelai. Seandainya, sudah ada kesepakatan tentang tata cara pelaksanaan upacara dan sebagainya, mungkin tidak akan ada masalah. Pernikahan beda kasta sendiri dikenal ada dua macam, yaitu :
a.       Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah seringterjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun zaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya. 
b.      Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut berita yang sering beredar, sebagian besar penduduk Bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta. 
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.

2.3.2        PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT HINDU
Perkawinan beda agama, bagi kita umat Hindu tidak dibenarkan, karena:
1.      Manawa Dharmasastra, Buku ke-III (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 27 tertulis:
ACCHADYA CARCAYITWA CA, SRUTI SILA WATE SWAYAM, AHUYA DANAM KANYAYA, BRAHMA DHARMAH PRAKIRTITAH.
Artinya : Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias dan setelah menghormat kepada seorang ahli weda yang berbudi bahasa baik yang diundang oleh ayah si gadis, itulah perkawinan brahma wiwaha.
Tafsirnya: seorang wanita yang hendak dikawini oleh seorang lelaki yang beragama Hindu (meyakini kitab suci Weda), hendaklah seorang wanita yang berpendidikan baik (dirias) dan seorang wanita yang taat beragama Hindu (karena ia harus terlebih dahulu mendapat restu orang tua dan disucikan oleh seorang Wiku).
2.      Oleh karena itu,  sesuai dengan isi sloka diatas bila ada perkawinan beda agama, maka si wanita agar ‘di-Hindu-kan’ terlebih dahulu dengan upacara sudhi waddani.
3.      Setelah itu barulah pawiwahan dapat dilaksanakan.

Adapun syarat sahnya perkawinan beda agama dalam agama Hindu, yaitu :

1.      Pasangan beda agama membuat pernyataan siap masuk Hindu tanpa ada paksaan dari siapapun di atas kertas bermaterai Rp. 6.000,-
2.      Melaksanakan Upacara Sudi Wadani sebagai syarat pengesahan/legalitas masuk Hindu. Upacara ini dilakukan oleh rohaniawan (Pemangku atau Pendeta) dengan terlebih dulu mengisi blangko Sudi Wadani yang dapat diambil di Kantor Parisada (PHDI) setempat.
3.      Upacara Perkawinan dapat dilakukan setelah pelaksanaan Sudi Wadani. Upacara Perkawinan ini dilaksanakan dengan menghadirkan saksi-saksi antara lain, Rohaniawan, Petugas Pencatat Perkawinan (Bagi Hindu di Luar Bali), Kepala Dusun, Klian Adat, dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jika dilaksanakan di Bali, Blangko Catatan Perkawinan sudah tersedia pada Kepala Dusun masing-masing
4.      Blangko Sudi Wadani dan blangko catatan perkawinan yang sudah lengkap ditandatangani oleh pihak-pihak terkait, kemudian diserahkan ke kantor catatan sipil setempat untuk dicatat dan mendapatkan Akta Perkawinan

2.3.3        HUBUNGAN SEKS DI LUAR NIKAH MENURUT HINDU

Prinsipnya, hubungan seks di luar nikah oleh agama manapun dilarang. Bagi pemeluk Hindu di Bali, diuraikan dalam Trikaya Parisudha tentang Kayika, yang disebut: “tan paradara”. Pengertian tan paradara ini diartikan luas sebagai menggoda, bersentuhan seks, berhubungan seks, bahkan menghayalkan seks dengan wanita/ lelaki lain yang bukan istri/ suaminya yang sah.
Dalam kitab-kitab suci antara lain Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, dan Parasaradharmasastra, hubungan seks senantiasa dianggap sebagai hal yang suci yang hanya diperkenankan setelah melalui proses pawiwahan yang menurut Manawadharmasastra ada delapan cara.
Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang disahkan oleh PHDI tahun 1987 diatur tentang keadan cuntaka (tidak suci menurut keyakinan agama Hindu) yang berhubungan dengan masalah seks di luar nikah (pawiwahan) sebagai berikut:
1.      Wanita hamil tanpa beakaon dan “memitra ngalang” (kumpul kebo), yang kena cuntaka adalah wanita itu sendiri beserta kamar tidurnya. Cuntaka ini berakhir bila dia dinikahkan dalam upacara pawiwahan.
2.      Anak yang lahir dari kehamilan sebelum pawiwahan (panak dia-diu), yang kena cuntaka: si wanita (ibu), anak, dan rumah yang ditempatinya. Cuntaka ini berakhir bila anak itu ada yang “meras” yaitu diangkat sebagai anak dengan upacara tertentu.
Jika dihayati lebih jauh, seolah-olah hukuman cuntaka itu hanya ditimpakan kepada wanita dan anak-anak saja. Pertanyaannya bagaimana mengenai si lelaki pasangan zina/ kumpul kebonya apakah terkena cuntaka juga? Secara tegas kesatuan tafsir tidak mengatur, tetapi dosa atas perbuatan paradara jelas disebutkan dalam Sarasamuscaya. Selain itu pawiwahan yang menyimpang dari ajaran agama juga dinyatakan sebagai dosa yang disebutkan dalam Manawadharmasastra dan Parasaradharmasastra.
Di Bali (Desa Pengotan Bangli), Hamil di Luar Nikah Didenda 40 ribu Per Hari
Menikah bukan sekadar urusan menyatukan dua manusia yang saling mencinta. Ada makna yang lebih luas lagi, seperti kemauan berbagi beban hidup dan menyatukan dua atau lebih keluarga. Di Desa Pengotan, Kabupaten Bangli, Bali, kedua makna pernikahan itu lebih kental terasa.
Tradisi pernikahan di Desa Pengotan memiliki dua keunikan. Pertama, pernikahan hanya boleh dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun berdasarkan kalender Hindu. Pernikahan dilakukan pada sasih kapat (bulan keempat) dan sasih kedasa (bulan kesepuluh) atau dalam kalender Masehi sekitar bulan September-Oktober dan Februari-Maret.
Kedua, karena hanya berlangsung dua kali dalam satu tahun, pernikahan selalu dilaksanakan secara massal. Dalam satu kali upacara pernikahan, bisa ada 70 pasang atau sedikitnya hanya 5 pasang pengantin. Oleh karena itu, setiap kali ada upacara pernikahan massal, suasana di Desa Pengotan mendadak ramai. Warga dari luar desa juga berbondong-bondong ingin melihat keunikan pernikahan itu.
Rangkaian upacara pernikahan itu total berlangsung selama enam hari. Tiga hari sebelum upacara puncak, setiap pasang pengantin menghaturkan canang sedah berupa sesaji kepada pemimpin adat desa. Ritual itu menyimbolkan kesungguhan pengantin yang akan melakukan pernikahan. Setelah upacara pernikahan berlangsung, pengantin pria dan perempuan masih melakukan ritual pebratan. Selama tiga hari setelah pernikahan, setiap pengantin tidak boleh keluar dari pekarangan rumah. Mereka pun memanfaatkan waktu untuk menerima tamu yang ingin mengucapkan selamat.
Pada hari puncak pernikahan, sekitar pukul 10.00 Wita, Pura Penataran Agung Pengotan yang menjadi tempat pusat kegiatan acara pernikahan mulai ramai. Para peduluan atau petugas pura mulai menata sesaji. Sapi merupakan persembahan pokok dalam upacara itu. ”Dulu setiap pasang pengantin wajib menyerahkan satu ekor sapi. Sekarang cukup satu ekor sapi untuk semua pasangan. Perubahan itu dilakukan supaya tidak memberatkan pengantin.  Selain sapi, ada pula sesaji lain yang disiapkan, seperti nasi, daging ayam, dan buah-buahan. Semua sesaji itu sudah harus tertata rapi sebelum para pengantin dipanggil masuk ke dalam pura. Setiap pasangan yang memakai baju adat berupa kain songket khas Bali diarak satu per satu menuju ke pura.
Di luar pura, para pengantin mengikuti ritual pembersihan diri atau pebiak kalan. Pembersihan diri juga dilakukan di dalam pura oleh para pendeta dan sekaligus menjadi ritual inti pernikahan massal ini. Sebelum pulang ke rumah, para pengantin harus melakukan ritual di setiap pura di desa itu yang berjumlah 13 pura.
Sesampainya di rumah adat, setiap pasangan pengantin saling menyuapi makanan sebagai simbol untuk saling menghidupi. Prosesi itu diiringi kidung berbahasa Bali yang dinyanyikan tetua desa.
Sesuai dengan kearifan lokal hampir semua prosesi upacara nikah masih asli, sampai sekarang tidak banyak berubah. Para pemimpin di desa itu pun berusaha keras melestarikan tradisi satu-satunya di Bali ini karena pernikahan massal ini mengandung nilai-nilai yang positif. Salah satunya adalah pemberian denda bagi pengantin perempuan yang hamil di luar pernikahan. Mereka akan didenda Rp 40.000 per bulan hingga pernikahan massal itu berlangsung. Sanksi adat berupa denda juga berlaku bagi warga Desa Pengotan yang menikah dengan tradisi lain. Sanksi itu akan ditentukan oleh para pemimpin desa.
Bagi Desa Pengotan yang dihuni 699 keluarga dan sebagian besar di antaranya bekerja sebagai petani, pernikahan massal itu cukup meringankan beban warga. Keluarga setiap pasangan pengantin pun menjadi lebih akrab karena banyak hal yang ditanggung bersama. Kearifan lokal itulah yang perlu dilestarikan.
PERKAWINAN HINDU DENGAN SIMBOL
Kawin dengan Simbol, pada sebuah desa di Gianyar terdapat satu kisah yang tergolong unik namun sudah lumrah dilakukan menyangkut perkawinan. Di desa bersangkutan ada seorang pemudi yang hamil di luar nikah. Dan yang menghamili tidak bertanggung jawab, dia pun menghindar dengan pergi ke luar daerah. Betapa terenyuh hati si wanita ini, apalagi kehamilannya terus membesar, sedangkan lelaki yang diharapkan mempertanggujawabkan perbuatannya tidak juga datang. Wanita yang mengandung itu beserta keluarganya sempat kebingungan. Di satu sisi ingin menyelamatkan si jabang bayi yang tak berdosa, makanya tidakk digugurkan. Di lain pihak, bila dibiarkan sampai bayi itu lahir, berarti harus ada lelaki yang mengawini si wanita hamil ini, sehingga anak yang lahir nanti sah secara adat maupun agama. Pernah ada keinginan dari pihak keluarga untuk ‘meminjam' salah satu keluarga laki agar mau melangsungkan upacara perkawinan. Setelah upacara si laki tadi tidak lagi ada ikatan tanggung jawab apa pun terhadap si wanita hamil maupun dengan anaknya kelak. Tetapi, tidak ada keluarganya yang rela melakukan langkah itu, hingga akhirnya untuk menghilangkan aib sekaligus tidak membuat leteh desa jika anaknya sampai lahir nanti, si wanita ini memilih tidak menggugurkan kandungan. Dia rela kawin mengikuti kesepakatan keluarga, yakni dengan simbol purusa (berwujud adegan). Dan yang menjadi pertanyaan, apakah perkawinan seperti ini bisa dianggap sah? Bagaimana bila dihubungkan dengan etika yang berlaku di masyarakat, apakah langkah yang ditempuh wanita hamil tadi beserta keluarganya bisa dianggap tindakan yang benar, demi untuk menyelamatkan si bayi dan menghilangkan leteh di desa?
Penyelesaian masalah dari kejadian di atas yaitu Di Bali, kasus seperti hal diatas itu lumrah disebut lokika sanggraha. Intinya, terjadi kehamilan pada seorang wanita karena perbuatan seorang lelaki, namun lelaki tersebut tidak mengakui perbuatannya di kemudian hari. Kasus seperti ini sudah sangat lumrah di Bali, sebab tidak hanya terjadi di Gianyar, melainkan juga terjadi di mana-mana. Bahkan sudah terjadi sejak dahulu. Menikahkan wanita yang hamil tersebut dengan simbol purusa adalah satu-satunya cara terbaik yang selama ini sudah dipilih dan diterima luas oleh umat Hindu di Bali. Jadi, pernikahan tersebut adalah sah menurut adat, tradisi, dan kebiasaan, serta norma yang ada sekaligus dipraktekkan oleh umat Hindu di Bali. Fenomena ini memang tidak bisa sepenuhnya memuaskan perasaan kemanusiaan kita, apalagi perasaan spiritual kita yang selalu harus diukur berdasarkan sasuluh sastra, guru, dan sadhu. Apakah manusiawi, misalnya, menyandingkan sebilah keris yang kita anggap sebagai simbol purusa dengan seorang pengantin wanita? Mungkin menurut kaidah-kaidah keagamaan dan norma dalam tradisi hal itu dapat diterima, namun kenyataannya hal ini tetap tidak memuaskan perasaan kemanusiaan kita. Oleh karena itu, meskipun perkawinan dengan simbol purusa ini dianggap sah, namun orang tetap menggugatnya dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah perkawinan seperti ini bisa dianggap sah?”Logika yang dijadikan dasar pembenar terhadap pilihan perkawinan dengan simbol purusa ini adalah untuk menyelamatkan bayi dan menghilangkan leteh di lingkungan desa. Menyelamatkan bayi di sini mempunyai dua pengertian. Pertama, perkawinan dengan simbol purusa ini secara otomatis menghindari tindakan menggugurkan kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong pembunuhan ( brunahatya ). Kedua, menyelamatkan secara sosial karena dengan perkawinan yang menggunakan simbol purusa tersebut, anak yang akan lahir kelak mempunyai kedudukan hukum sebagai anak yang sah. Artinya, anak itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah. Tentang menghilangkan leteh lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkawinan dalam agama Hindu disebut wiwaha , dan wiwaha sebenarnya adalah satu bentuk prayascitta atau penyucian diri. Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita hamil di luar nikah—yang sebenarnya menjadi sumber leteh— disucikan dengan upacara prayascitta , dan bersamaan dengan itu lingkungan desa yang tercemar karena perbuatan asusila warganya, juga dianggap bersih atau normal kembali karena telah dilakukan upacara prayascitta. Jadi, keputusan wanita yang hamil untuk kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan yang benar. Selama ini belum ada alternatif lain yang bisa diterima secara umum. Memang, kadang-kadang ada tawaran dari pihak keluarga, agar wanita hamil itu menikah dengan salah satu anggota keluarganya secara simbolis. Artinya, setelah nikah lelaki itu bebas dari tanggung jawab. Tetapi, hal ini sangat jarang terjadi. Jarangnya pilihan ini dilakukan bukanlah tanpa alasan. Sebab, perkawinan itu, baik secara spiritual maupun sosial, mempunyai akibat hukum sehingga tidak bisa dilakukan secara berpura-pura. Ada kalanya pernikahan antara wanita hamil di luar nikah itu dengan salah satu anggota keluarganya dilakukan secara sungguh-sungguh. Artinya, lelaki yang adalah keluarganya itu menerima wanita hamil luar nikah itu, sebagai istrinya yang sah, sehingga dilangsungkanlah upacara perkawinan yang sebenarnya. Dalam beberapa catatan hukum adat di Bali, kita menemukan solusi ini pernah dipilih oleh kalangan yang sangat terbatas. Tetapi, karena masih menyisakan masalah-masalah ikutan, atau masih menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya tentang status atau kedudukan anak yang akan dilahirkan kelak, maka langkah ini tidak menjadi populer. Penerimaan masyarakat atas sah-tidaknya perkawinan dengan simbol purusa ini, apabila dilihat dari sudut pandang agama, tampaknya sengaja dikaburkan. Itulah sebabnya, penerimaan oleh masyarakat dibatasi dalam kerangka norma-norma adat, tradisi, dan kebiasaan yang dipraktikkan dalam masyarakat Hindu di Bali. Pertanyaan ini adalah bertumpu pada kenyataan, bahwa titik awal dari kasus lokika sanggraha ini adalah dimulai dari pelanggaran atas norma agama. Sebagaimana diketahui, seks pranikah yang menjadi sumber kemelut ini adalah melanggar norma agama Hindu. Dalam agama Hindu, perkawinan harus dilangsungkan di antara pasangan calon pengantin pria dan wanita yang masih perawan, atau dikenal dalam purana-purana dengan terminologi a ksata-yoni. Jadi, dapat dimaklumi apabila upacara perkawinan dengan simbol purusa ini tetap digugat keabsahannya hingga kini, karena memang ia dimaksudkan sebagai “penyelaras” atas ketidakseimbangan kosmis sebagai akibat tindakan asusila. Usaha penyelarasan itu adalah sebuah usaha yang sangat berat. Namun, dalam hal menghindari stagnasi dan korban yang lebih besar sebagai akibat tindakan asusila itu atau tindakan-tindaan pelanggaraan atas norma-norma agama secara keseluruhan, maka solusi melalui perkawinan dengan simbol purusa semacam ini, boleh dikatakan jalan keluar yang sangat cerdas.
Kiranya perlu diingatkan di sini bahwa dalam kasus lokika sanggraha ini, pihak yang selalu menjadi korban adalah kaum wanita dan keluarganya. Mereka menerima aib sekeluarga, bahkan desa mereka juga ikut tercemar ( leteh ), karena ulah satu orang lelaki. Oleh karena itu, kiranya tidaklah berlebihan jika kita juga ikut mengingatkan para orangtua di Bali, agar—sesuai dengan ajaran agama Hindu: aksata yoni, yang di Bali dituangkan dalam simbol menusuk tikar daun pandan—menjaga keperawanan putra-putrinya sampai ke jenjang pernikahan.












BAB III
PENUTUP

3.1       SIMPULAN
Pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat. Suatu perkawinan Dikatakan sah menurut hukum hindu ialah :
1.      Perkawinan dikatakan sah apabila saat wiwaha dilakukan oleh rohanian seperti  Brahmana atau pandita. Dan juga bisa dilakukan oleh pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
2.      Perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama hindu
3.      Berdasarkan tradisi di bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara biakala sebagai rangkaian upacara wiwaha.
4.      Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
5.      Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, tidak pernah haid, atau sehat jasmani dan rohani.
6.      Calon mempelai cukup umur bagi pria berumur minimal 21 tahun dan wanita berumur minimal 18 tahun.
7.      Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat, atau sapinda.
8.      Untuk di Bali upacara perkawinan agar dilakukan:
-          Dirumah pihak yang akan berkedudukan purusa
-          Diberi tirta pemuput oleh Rohaniawan
-          Adanya sajen petak kepada Bhatara bhatari, leluhur dan Hyang Widhi
-          Adanya sajen yang diperuntukan persaksian terhadap Buta sebagai mahluk bawahan
-          Adanya sajen yang diayab bersama oleh mempelai
-          Kehadiran para saksi seperti perangkat Desa atau banjar dan warga yang lain.

Dalam pembahasan diatas dilihat dari beberapa permasalahan yang ada, kita dapat mengatakan bahwa itu merupakan sebuah Diskriminasi. Diskriminasi sendiri merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat. Ini disebabkan karena adanya kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. Dalam pembahasan diatas sudah terlihat jelas bagaimana masyarakat di Bali masih menganut kebudayaan yang sangat kental yang masih berlaku disana, dimana dalam sebuah perkawinan tidak sembarang orang dapat menikahi seseorang, karena di dalam sebuah perkawinan terdapat syarat bagaimana kedua mempelai tersebut harus mematuhi adat atau budaya yang sudah melekat disana. Salah satu masalahnya adalah antar golongan atau lebih dikenal sebagai kasta.
Pernikahan beda kasta akan sah jika disetujui oleh pihak keluarga masing-masing. Khususnya secara hindu akan terjadi perbedaan upacara dalam bentuk banten untuk individu masing-masing. Sedangkan untuk pernikahan beda agama akan sah jika tidak menyimpang dari hukum agama masing-masing dan Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai perkawinan dengan simbol purusa, logika yang dijadikan dasar pembenar terhadap pilihan perkawinan dengan simbol purusa ini adalah untuk menyelamatkan bayi dan menghilangkan leteh di lingkungan desa. Menyelamatkan bayi di sini mempunyai dua pengertian. Pertama, perkawinan dengan simbol purusa ini secara otomatis menghindari tindakan menggugurkan kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong pembunuhan ( brunahatya ). Kedua, menyelamatkan secara sosial karena dengan perkawinan yang menggunakan simbol purusa tersebut, anak yang akan lahir kelak mempunyai kedudukan hukum sebagai anak yang sah. Artinya, anak itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah. Tentang menghilangkan leteh lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkawinan dalam agama Hindu disebut wiwaha , dan wiwaha sebenarnya adalah satu bentuk prayascitta atau penyucian diri. Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita hamil di luar nikah—yang sebenarnya menjadi sumber leteh— disucikan dengan upacara prayascitta , dan bersamaan dengan itu lingkungan desa yang tercemar karena perbuatan asusila warganya, juga dianggap bersih atau normal kembali karena telah dilakukan upacara prayascitta. Jadi, keputusan wanita yang hamil untuk kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan yang benar.
















DAFTAR PUSTAKA

Pudja G. dan Rai Sudharta Tjokorda, 1996.  Manawa Dharmasastra (Manu dharmacastra) atau Weda Smreti Compendium Hukum Hindu. Penerbit Hanuman Sakti.
I Wayan Maswinara, 1999, Parasara Dharmasastra (Veda Smerti Untuk Kali Yuga). Surabaya,  Paramita.
Mantra, I.B.2006.Bhagavadgita.Pemerintah provinsi Bali.
Nesawan, I Nyoman.1987. Pendidikan Agama Hindu. Bandung : Ganeca Exact.
Tjok Rai Sudharta, M.A, Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja.1967. Upadesa : Tentang ajaran – ajaran Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
Annata Gotama, 2000. Mengenal lebih dekat kitab suci Manawa Dharmasastra.http://www.parisada.org/index.php?Itemid=29&id=276&option=com_content&task=view
Yayasan Bali Galang ,____.CaturAsrama. http://www.babadbali.com/canangsari/pa-catur-asrama.htm
2010, Nikah Beda Kasta , Bali; stitidharma.org/nikah-beda-kasta diakses pada 7 Maret 2013
Wira,I Made, 2011, Sistem Kasta di Bali imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/ diakses pada 7 Maret 2013





SEJARAH SINGKAT PURA AGUNG BATAN BINGIN DESA PEJENG KAWAN, KEC.TAMPAK SIRING

Bila dicermati dari tinggalan-tinggalan purbakala yang ada di Pura Agung Batan Bingin, seperti Arca Budha di Ratu Melanting dan arca-arca ya...