Wednesday, May 27, 2020

SEJARAH SINGKAT PURA AGUNG BATAN BINGIN DESA PEJENG KAWAN, KEC.TAMPAK SIRING

Bila dicermati dari tinggalan-tinggalan purbakala yang ada di Pura Agung Batan Bingin, seperti Arca Budha di Ratu Melanting dan arca-arca yang tersimpan di Palinggih Gedong Pasimpenan Pura Agung Batan Bingin (utama mandala), merujuk kepada jaman yang sangat tua. Arca Budha di Ratu Melanting berasal dari abad 9/10 Masehi dan arca-arca yang tersimpan di Palinggih Gedong Pasimpenan berasal dari jaman Bali Madya (abad 13 M). Rupa-rupanya Pura Agung Batan Bingin tidaklah setua usia dari tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di palinggihpalinggih tersebut. Sebab seperti biasanya yang terjadi di tempat-tempat suci (pura) lainnya khususnya di Desa Pejeng, tinggalan-tinggalan purbakala yang ada di dalam pura dan sekitarnya, secara khusus dibuatkan palinggih terlepas dari catatan palinggih yang harus dibangun di pura bersangkutan. Ada kalanya bahwa tinggalan purbakala yang ada di dalam pura sekaligus dijadikan pratima atau manisfestasi dari dewa yang dipuja,

seperti Nekara (“ Bulan” Pejeng) di Pura Penataran Sasih, Ratu Purasa-Pradana di Pura Pusering Jagat, dan di tempat suci lainnya baik Pejeng maupun di luar Desa Pejeng. Fenomena seperti itu pula yang terjadi di Palinggih Ratu Melanting, Pura Agung Batan Bingin, bahwa arca Budha yang ada didalam  Palinggih Gedong dijadikan pratima ida bhatara yang diberi sebutan Ida Ratu Melanting, bahwa tinggalan-tinggalan  purbakala yang ada di Pura Agung  Batan Bingin, usianya jauh lebih tua dari pendiri pura. Ketika Pura Agung Batan Bingin dibangun, arca-arca kuna yang ada di lingkungan pura diselamatkan dengan membuatkan palinggih khusus untuk menyimpannya.
Berdasarkan paparan di atas, bahwa sejak abad 9/10 Masehi, Desa Tatiapi (sekarang
Pejeng Kawan) telah dihuni oleh sekelompok warga lain yang masih menjadi satu dengan Desa Pejeng. Kemungkinan pula yang berstatus Pura Puseh adalah Pura Puser Ing Jagat (puser-puseh). Untuk Pura Dalem, sudah dapat dipastikan ada, mengingat keberadaannya terkait dengan kuburan (setra), yang tidak dapat dipisahkan dengan urusan kematian.
Ketika renovasi terakhir (tahun 2001), didapatkan uang kepeng (pipis bolong) dalam jumlah yang cukup banyak di natar Bale Agung. Tampaknya penemuan uang kepeng (pipis bolong), dapat dijadikan sebagai petanda bahwa di  Pura Agung Batan Bingin sudah pernah dilaksanakannya upacara “Mebagya Pula Kerti”. Keyakinan telah dilaksanakannya upacara tersebut diperkuat oleh keterangan dari A.A. Gde Anom Gede (mantan bendesa Pura Agung Batan Bingin) didampingi oleh A.A. Gde Anom Puri dan A.A. Gde Rai Bongkos. Menurut keterangan,  pada masa penjajahan Jepang di Bali 1946/47, diadakan renovasi Bale Agung, yang mulanya bertiang 6 (enam) diganti menjadi tiang 8 (delapan), dengan pertimbangan adanya penolakan dari Semeton Satria Dalem Tatiapi. Adapun alasannya yang dijadikan penolakannya, kemungkinan karena jumlah wargadesa adat sudah mencapai jumlah “Kuwub satak”, sehingga secara logika telah memenuhi syarat untuk membangun Bale Agung bertiang 8 (delapan). Setelah renovasi bangunan dipandang selesai, maka dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara yadnya yang lebih besar tingkatannya, yaitu “Mebagya Pula kerti” dan “Karya Mapedagingan”. Pujawali dipuput oleh Ida Pedanda Kesian Gianyar dan pengrajeg karya Cokorde Petak, Madangan, Gianyar dan Wiku/Yajamana, Ida Pedanda Gria Sanding, Pejeng. Ketika itu yang menjadi bendesa adat adalah A.A. Gde Rai Greget (Puri Kaler Kangin). Jelaslah bahwa Bale Agung bertiang 6 (enam) dibangun pada masa sebelumnya, yaitu di awal tahun 1920an bersamaan dengan pendirian Pura Agung Batan Bingin.  


SEJARAH SINGKAT PURA AGUNG BATAN BINGIN DESA PEJENG KAWAN, KEC.TAMPAK SIRING

Bila dicermati dari tinggalan-tinggalan purbakala yang ada di Pura Agung Batan Bingin, seperti Arca Budha di Ratu Melanting dan arca-arca ya...