Saturday, October 31, 2015

Tari Rejang Sutri

BAB I
PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG
Salah satu sarana untuk mempertebal keyakinan dan menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa) adalah dengan cara berkesenian. Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai pelengkap pemujaan tersebut.
Upacara di pura-pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi dan pura-pura dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari penganut Hindu di Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Para seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Selain itu juga berkembang pertunjukkan seni yang bersifat menghibur. Maka di Bali, berdasarkan sifatnya seni digolongkan menjadi seni wali yang disakralkan dan seni yang tidak sakral (disebut profan) yang berfungsi sebagai tontonan atau hiburan saja.
Pada seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan. Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya pada tari Pendet ada canang sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi), pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada tari Rejang pada gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus Rejang Renteng). Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup), dan beras sekar ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak boleh digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang masih muda, belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan pewintenan (upacara penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Berbagai jenis tarian Bali menampakan adanya hubungan yang erat dengan aktivitas keagamaan dan juga berkembang menjadi tari-tarian yang dipentaskan di atas panggung.  Masyarakat Hindu di Bali dalam berkesenian akan dilengkapi pula pelaksanaan ritual dengan upacara sesajen ( banten) sesuai dengan adat daerahnya masing-masing, dimana upacara tersebut akan berpedoman pada filsafat konsep Tri Kona yaitu Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (kondisi/ keadaan). Seusai pertunjukan diharapkan mendatangkan kedamaian di dunia ini secara lahir bathin, oleh karena itu pada saat-saat tertentu dapat kita jumpai adanya pementasan tari Sanghyang, Rejang, Topeng, Barong, Baris Gede, Barong Ketingkling dan sebagainya.

1.2              RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan latar belakang diatas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1        Bagaimanakah sejarah tari sakral secara umum dan bagaimana pula sejarah tari Rejang Sutri di Pura Samuantiga?
1.2.2        Bagaimana bentuk dan tahapan pelaksanaan tari Rejang Sutri?
1.2.3        Apa saja fungsi dari tari Rejang Sutri?
1.2.4        Apakah makna dari tari Rejang Sutri?


1.3              TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang :
·         Sejarah tari sakral secara umum dan sejarah tari Rejang Sutri yang ada di Pura Samuantiga.
·         Bentuk dan tahapan pelaksanaan dari tari Rejang Sutri.
·         Fungsi dari tari Rejang Sutri.
·         Makna dari tari Rejang Sutri.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1       SEJARAH TARI SAKRAL SECARA UMUM
Tari Rejang Dewa
 
Pada seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan. Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya pada tari Pendet ada canang sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi), pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada tari Rejang pada gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus Rejang Renteng). Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup), dan beras sekar ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak boleh digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang masih muda, belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan pewintenan (upacara penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Dalam sejarahnya tari wali ini sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang berkembang di daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dibuat bersamaan atau sesudah tari wali itu diciptakan atau sebelumnya. Meskipun tarian ini diciptakan manusia, tetapi karena sudah merupakan konsensus dari masyarakat pendukungnya maka tari wali ini mendapat tempat khusus di hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan agama, terutama agama Hindu.
Tari-tari wali yang tercipta di Bali mirip dengan tari-tari ritual di India. Menurut mitologi tarian-tarian wali itu diciptakan oleh Dewa Brahma,  dan Dewa Siwa yang terkenal dengan tarian kosmisnya, yaitu Siwa Nata Raja. Di mana Dewa Siwa memutar dunia dengan gerakan mudranya yang berkekuatan ghaib. Setiap sikap tangan dengan gerakan tubuh memiliki makna dan kekuatan tertentu sehingga tarian ini tidak hanya menampilkan keindahan rupa atau pakaian, tetapi mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Di Bali tidak sembarang digunakan. Hanya para Sulinggih (Brahmana atau orang suci) saja yang menggunakan gerakan tangan mudra ini, karena sangat sakral.
Di Bali untuk menambah kekuatan sekala dan niskala pada tarian sering disertai dengan banten-banten (sesajian) Pasupati untuk penari atau perlengkapan tari tertentu. Untuk pertunjukkan tari wali tertentu, diawali dengan sesajian dan tetabuhan agar tidak diganggu bhuta kala giraha dan bhuta kala kapiragan. Tak jarang persembahan tari dalam ritual tertentu dilakukan prosesi Pasupati, baik secara sederhana dengan menggunakan banten Pasupati atau dilakukan dengan lebih khusus, lebih besar atau istimewa untuk memohon agar si penari dibimbing sesuai dengan kehendak Ida Betara.
Pasupati artinya raja gembala hewan. Maksudnya agar si penari layaknya hewan gembala yang diatur dan digembalakan sepenuhnya oleh si penggembala, yaitu Ida Betara. Maka setiap gerak-gerik penari tidak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri, sebagian gerakannya dijiwai oleh Ida Betara yang dimohonkan. Sehingga tarian itu akan memiliki niskala (kekuatan magis).
Tari Bali diciptakan penciptanya berdasarkan insting atau naluri dalam berkesenian. Apakah dengan meniru gerakan manusia, air, pohon dan sebagainya, sehingga terangkum dalam gerakan yang memiliki nilai seni. Pada masyarakat berkebudayaan tinggi serta menjujung  nilai-nilai religius agraris dan mistis seperti di Bali, gerakan tari disertai aksen-aksen tertentu yang berkekuatan ghaib. Disertai banten-banten dan mantra-mantra tertentu untuk mengundang kekuatan sekala dan niskala, sehingga mendukung dan menunjang kesakralan tarian tersebut.


2.1.1    SEJARAH MUNCULNYA TARI REJANG SUTRI
Sejarah munculnya tari Rejang Sutri di desa Batuan, Sukawati, sangatlah sulit, karena tidak adanya catatan – catatan, literatur, buku- buku yang menyebutkan tentang tari Rejang Sutri ini. Hanya keterangan secara lisan sebagai cerita rakyat yang secara turun temurun telah dipercayai oleh masyarakat Batuan. Keterangan itu adalah berawal dari kekalahan I Renggan yang sekarang bergelar Ratu Gede Mecaling (menguasai ilmu hitam) atas I Dewa Babi mengakibatkan terciptnya tarian Rejang Sutri tersebut. Kejadian tersebut kira –kira terjadi pada abad ke 17 (1658 Masehi), saat kerajaan Sukawati dipegang oleh Ida Sri Aji Maha Sirikan yang bergelar I Dewa Agung Anom dan nama lainnya Sri Wijaya Tanu.
Kejadian tersebut berawal dari resahnya warga batuan karena ilmu hitam I Renggan, karena sifatnya sering nelarang aji ugig, misal ada salah satu masyarakat yang mempunyai suatu upacara yang menggunakan banten guling babi, dengan kesaktiannya I Renggan menghidupkan guling yang telah menjadi banten upacara. Suatu hari terjadi hal menarik dan aneh akibat ulah dari si Renggan. Ada kumpulan masyarakat setempat sedang membuat guling yang digunakan untuk sarana upakara, I Renggan meminta untuk ikut membantu dalam membuat guling tersebut namun tidak diizinkan karena masyarakat tahu dia nelarang aji ugig dan I Renggan disuruh mengguling mentimun yang ada disampingnya. Ia lalu mengguling timun di samping tempat mengguling babi, sungguh hal aneh disaat sudah matang tiba – tiba rasa dari guling babai berubah manjadi rasa mentimun dan guling mentimun yang dibuat oleh I Renggan berubah rasa menjadi rasa guling babi. Berdasarkan hal tersebut masyarakat Batuan sampai sekarang mempercayai bahwa setiap menghaturkan guling pasti disampingnya disertai dengan buah mentimun.
Setiap saat I Renggan seklalu sempat nelarang aji ugig, maka masyarakat melapor kepada Dewa Babi, dan Dewa Babi memutuskan untuk mengjak I Renggan bertarung menguling. Pada saat pertandingan, guling I Renggan di bagian kakinya diikat dengan benang tri datu dan Dewa babi dengan tali kupas. Barang siapa yang talinya putus akibat terbakar terlebih dahulu ia harus pergi dari Desa Batuan. Diceritakan pertandingan telah dimulai, selang beberapa lama hal mengejutkan terjadi, tali benang tri datu terputus itu pertanda bahwa I Renggan kalah dalam pertandingan dan harus pergi dari Desa Batuan. Kekalahan itu mengakibatkan I Renggan terusir dari Batuan dan akhirnya tinggal diJungut Batu Nusa Penida Kabupaten Klungkung dan di Nusa Penida bernama Ratu Gede Mecaling. Ratu Gede Mecaling berjanji akan mencari tumbal di Desa Batuan, serta siapa saja yang berani datang ke Nusa Penida akan mendapatkan celaka, karena itu warga merasa resah. Jro mangku menyiasati agar pada saat sasih kalima sampai sasih kesanga agar masyarakat tidur di bawah tempat tidur atau di beten longn agar dilihat seperti babi. Lama- kelamaan masyarakat merasa jenuh dengan bayang- bayang Ratu Gede Mecaling, sesunan ring pura Desa memberikan pawisik kepada jro mangku agar nyuguhkan sebuah tarian Rejang Sutri dan Gocekan. Sebab dengan itu dapat meluluhkan hawa nafsu, dendam yang dirasakan oleh Ratu Gede Mecaling.
Namun pada masa sekarang ini beberapa orang masyarakat Batuan sudah sering melakukan persembahyangan ke Pura Dalem Peed Nusa Penida tempat berstananya Ratu Gede Mecaling, tetapi tidak terjadi apa- apa, dan mudah- mudahan beliau melupakan kejadian masa lalu dan memberikan keselamatan kepada kehidupan kita.Bahkan suatu kepercayaan bahwa pada mulai sasih kelima ( sekitar bulan Nopember ) sampai sasih kesanga ( bulan Maret ) tahun berikutnya dikenal masa bebrjangkitnya bermacam – macam penyakiy ( wabah ) dan dirasakan sebagai saat – saat sangat genting, kepercayaan masyarakat Desa Batuan saat inilah I Gede Mecaling sedang berkelana di Bali untuk mencari labaan ( tumbal ) dan menyebar gering /pemyakit. Maka, khususnya di Batuan menggelar pertunjukan Rejang Sutri untuk meminimalisir pengaruh negatif saat bulan – bulan tersebut.
Dari sejarah singkat mengenai asal mula tari Rejang Sutri di daerah Batuan yang telah dipaparkan, ini menjadi tombak munculnya tari Rejang Sutri di daerah Gianyar, seperti misalnya di daerah Batuan, Pura Samuantiga di Bedulu, di Desa Pering Blahbatuh, di Pura Agung Desa Lebih Gianyar, dan lain – lain pada saat piodalan – piodalan (ngusabha) di pura – pura tertentu. Tarian ini dilakukan sebagai peminimalisir pengaruh negatif dan orang yang bisa menjadi permas atau penari sutra adalah orang-orang yang menjadi pewaris (keturunan) yang pada mulanya adalah orang-orang yang pernah terkena musibah (sakit) dan orang-orang tersebut.
2.1.2    TARI REJANG SUTRI DI PURA SAMUANTIGA
Dalam pelaksanaan upacara piodalan di pura Samiantiga yang dilaksanakan setiap 210 hari sekali (pujawali balian) dan setahun sekali pada purnama kedasa (ngusaba), dilaksanakan sebuah tari upacara (wali) yang unik dan khas yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Tari Rejang Sutri. Keunikan dan kekhasan tarian ini terletak pada proses dan sarana yang dibawa. Keunikan lainnya, tarian ini diiringi oleh dua barung gamelan secara bersamaan yaitu gamelan Gong Kebyar dan gamelan Angklung.
Keberadaan tarian ini di daerah Bedulu diperkirakan sejaman dengan dibangunnya Pura Samuantiga yaitu pada jaman pemerintahan raja Ganapriya Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada sekitar tahun 988-1011 masehi. Di jaman globalisasi masysrakat mengalami perubaha yang disebabkan oleh perkembangan jaman terutama perkembangan dan ekonomi. Seperti beberapa tari-tarian wali, pada mulanya sebagai tari sakral kemudian bergeser fungsi menjadi tari sekuler atau memiliki fungsi ganda. Demikian pula dengan benntuk penyajiannya yang semula sangan sederhana kemudian ditata lebih artistik. Hal tersebut tidak terjadi pada Tari Sutri di Pura Samuantiga, tarian ini tetap eksis seperti semula, tidak banyak mengalami perubahan, perubahan terjadi pada jumlah penari yang kadang-kadang bertambah dan kadang-kadang berkurang. Hal tersbut disebabkan oleh perlakuan masyarakat yang melihat Tari Sutri sebagai tarian yang sangat disucikan sehingga mereka cenderung takut untuk merubahnya.
Tari Sutri dibawakan oleh sekelompok penari wanita disebut dengan permas. Mereka adalah orang-orang yang berkomitmen dalam hidupnya untuk menjadi pengayah setiap upacara piodalan berlangsung. Tidak sembarang orang yang bisa menjadi permas, mereka adalah orang-orang yang menjadi pewaris (keturunan) yang pada mulanya adalah orang-orang yang pernah terkena musibah (sakit) dan orang-orang tersebut memang sudah dikehendaki oleh Bhatara-Bhatari yang berstana di Pura Samuantiga. Orang-orang yang akan menjadi penari ini harus menjalani suatu proses yaitu harus melakukan pawintenan (disucikan secara sekala dan niskala), menghaturkan bamnten pejati dan banten pamiak kala. Tari Sutri merupakan tarian skral atau suci yang dilaksanakan dalam upacara piodalan di Pura Samuantiga sebagai tari pengucian dalam rangkaian Ida Bhatara akan tedun, dari Pengaruman Ageng. Di samping itu tarian ini juga merupakan ungkapan rasa syukur kehadapan Ida Bhatara yang berstana di Pura Samuantiga atas karunia yang telah dilimpahkan kepada masyarakat, sehinmgga masyarakat didak berani tidak melaksanakan tarian ini.

2.2       BENTUK DAN TAHAPAN PELAKSANAAN TARI REJANG SUTRI
Text Box: Sumber : situs http//www.google.comTari Sutri merupakan tari wali yang bersifat sakral dan suci.Tari wali ini merupakan warisan budaya turun temurun dari warga masyarakat Bedulu, hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik oleh masyarakat setempat karena pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga. Penyelenggaraannya hanya dilaksanakan setiap setahun sekali yaitu pada upacara piodalan (ngusabha), pada Purnama Desta, tepatnya tiga hari setelah puncak upacara.Keberadaannya diperkirakan sejaman dengan dibangunnya Pura Samuantiga yaitu pada jaman pemerintahan raja Ganapriya Dharmapatni/Udayana Warmadewa.
Gerak-gerak tarinya sangat sederhana yang terdiri dari gerak nampyog, ngober ngambet, ngober nyambung, yang dibentuk ke dalam struktur pertunjukan Tari  sutri.Tidak ada kekhususan di dalam penggunaan busana dan rias.Busananya hanya menggunakan busana adat ke pura yang didominasi oleh warna putih dengan kain berwarna hitam polos. Karena tari ini hanya dilaksanakan pada upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga maka tempat pementasannya dari tahun ke tahun tetap yaitu dimandala Penataran Agung, tempat Bhatara-bhatari katuran piodalan.Keunikan tarian ini terletak pada musik iringan tari yang mempergunakan dua barung gamelan yaitu gamelan gong kebyar duwe dan angklung duwe.
Tari Sutri dibawakan oleh sekelompok penari wanita yang sudah lanjut usia (akil balik). Tari ini diawali dengan bagian pertama yaitu Sutri yang dibawakan oleh para permas. Tahap pertama permas tampil dengan membawa tiga buah dupa, mereka menari di tiga tempat yaitu : di Mandala Duwur Delod menghadap ke Timur, di Mandala Beten Kangin menghadap ke Selatan, dan di Mandala Penataran Agung menghadap ke Timur, yaitu menghadap ke Pangaruman Agung. Tahap kedua, permas tampil dengan membawa tiga buah dupa menari sambil mengelilingi Mandala Penataran Agung sebanyak tiga kali putaran, dimulai dari Mandala Beten Manggis menujuMandala Duwur Delod, Beten Kangin, putaran yang ketiga kembali ke Mandala Beten Manggis. Tahap ketiga, permas menari juga dengan membawa tiga buah dupa mengikuti para pemangku, para pemangku masing-masing membawa peralatan upacara seperti pasepan, dupa, tirta, cecepan, tetabuh dan genta.Hal ini juga dilakukan sebanyak tiga kali putaran seperti pada bagian kedua.Tahap keempat permas melakukan gerakan ngober ngambet, masing-masing permas memegang selendangnya sendiri, dilakukan tiga kali putaran seperti pada bagian pertama.Tahap kelima, permas juga menari dengan gerakan ngober nyambung, masing-masing permas memegang selendang permas yang ada di belakangnya.
 Tari Sutri di Pura Samuantiga berbeda dengan tarian sacral lainnya,  karena tarian tersebut ditarikan oleh para wanita yang sudah lanjut usia, dapat melakukan tarian tersebut selama lebih kurang empat   jam dengan mengelilingi areal pura yang begitu luas sebanyak 18 kali putaran tanpa henti-hentinya sambil berlari-lari dan tidak terlihat kelelahan. Para permas selama menari selalu membawa dupa tiga buah.Disamping itu terdapat gerakombak-ombakan dan masing-masing penari harus dapat menyentuh seluruh bataran pelinggih yang berada di Mandala Penataran Agung. Tari Sutri ini juga mempunyai keunikan tersendiri yaitu diiringi oleh dua barungan gamelan sekaligus yaitu Gong Kebyar dan Angklung.


2.3       FUNGSI TARI REJANG SUTRI
Tari Sutri memiliki beberapa fungsi: (1) fungsi ritual, yaitu tarian ini bertujuan untuk penyucian palinggih-palinggih dan areal pura dalam rangkaian Bhatara-bhatari akan tedun untuk kembali ke yogan (tempat berstana) masing-masing. (2) Fungsi sosial, pelaksanaan Tari Sutri yang terkait dengan pelaksanaan piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap masyarakatnya karena mampu menumbuhkan kerjasama yang baik antar warga, mengikat solidaritas masyarakat, menumbuhkan rasa kebersamaan, menumbuhkan rasa pengabdian yang tinggi, dan juga dapat memberikan hiburan bagi warga masyarakat. (3) Fungsi Estetika, pelaksanaan tarian ini dapat memberikan fungsi estetika karena tarian ini memenuhi beberapa unsur estetika yang dapat membangkitkan rasa keindahan. (4) Fungsi pelestarian, tarian ini wajib dan harus dilaksanakan pada pelaksanaan upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga Bedulu yang bertujuan menyucikan palinggih-palinggih serta areal pura dalam rangkaian Bhatara-bhatari tedun dan masih tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Pentingnya tarian ini dalam menunjang jalannya upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga menyebabkan kehidupan tarian ini tetap langgeng dan diteruskan oleh generasi penerusnya sehingga tarian ini dapat mempertahankan kearifan lokal dalam globalisasi.(5) Fungsi Pengobatan, yaitu pengobatan secara spiritual yang berkaitan dengan upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga. Tari Sutri yang dilaksanakan dalam upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga mampu menambah keyakinan warga masyarakat tentang adanya kekuatan di luar dirinya serta mampu sebagai sarana pengikat solidaritas, kebersamaan, kesatuan dan persatuan sehingga dalam masyarakatnya terjadi suatu keseimbangan dan mencegah terjadinya konflik.

2.4       MAKNA TARI REJANG SUTRI
Dari pelaksanaan Tari Sutri di dalamnya mengandung makna religius, makna solidaritas, makna estetika dan makna simbolis. Makna religius, dengan melaksanakan tarian ini dalam pelaksanaan upacara piodalan ngusabha warga masyarakat khususnya permas seperti memperoleh keselamatan dan perlindungan serta mengalami pengalaman-pengalaman yang religius seperti merasakan sangat gembira, tidak punya rasa malu, dapat melakukan gerakan dengan ringan, tidak merasa lelah. Pengabdian yang tulus ikhlas yang dilakukan dalam melaksanakan upacara mengandung makna kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin bagi kehidupan masyarakatnya. Makna solidaritas, pelaksanaan tarian ini dalam upacara mengandung makna kebersamaan, kesatuan dan persatuan, kesabaran dan hiburan sehingga menimbulkan rasa solidaritas yang tinggi. Makna estetika, memberikan rasa senang, gembira, puas, nyaman, tidak merasa malu, tidak merasa lelah bagi pelaku maupun penikmat sehingga mereka mendapatkan kepuasan lahir batin. Makna simbolis, dapat dilihat dari gerak, busana dan properti. Makna gerak secara spiritual gerak-gerak yang dilakukan mengandung beberapa makna antara lain makna penyucian secara lahir batin, makna kebersamaan, kesadaran, kesatuan dan persatuan, makna penyucian palinggih-palinggih beserta areal pura. Makna busana terdapat pada warna putih yang menyimbolkan kesucian dan warna hitam menyimbolkan Dewa Iswara yaitu dewanya air.




BAB III
PENUTUP

3.1       SIMPULAN DAN SARAN
Masyarakat Bali di daerah Gianyar khususnya warga masyarakat Bedulu memiliki sebuah bentuk tari wali, merupakan warisan budaya yang mengandung nilai-nilai religius yang cukup tinggi dan patut dibanggakan. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa warisan budaya yang bernilai tinggi masih tetap eksis dilaksanakan. Dalam hal ini perlu adanya tindakan nyata baik kalangan warga setempat, kalangan pemerintah dan budayawan, diharapkan adanya kepedulian terhadap Tari Sutri di Pura Samuantiga sehingga keberadaan tari tersebut tetap lestari sebagaimana bentuknya semula.
Tari Sutri yang dilaksanakan dalam upacara piodalan di Pura Samuantiga, mengandung banyak makna yang sangat mendalam dan mengajarkan adanya perilaku manusia yang selama hidupnya berada dalam dua jalur yang berbeda seperti baik buruk, suka duka dan mengajarkan hal-hal kebersamaan, kesatuan dan persatuan terhadap masyarakat, sehingga dapat dipakai pegangan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu perlu adanya penjelasan dan disebarluaskan pada generasi berikutnya.











DAFTAR PUSTAKA


Informasi dari masyarakat sekitar Bedulu, Blahbatuh, Gianyar.

Aryasa, I Wayan. 1992. Materi Pokok Seni Sakral. Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarkaat Hindu dan Budha Universitas Terbuka.

Patera, I Wayan. 2004. Kahyangan Jagat Pura Samuantiga Bedulu-Blahbatuh
Gianyar. Panitia Karya Padudusan Agung Pura Samuantiga.











1 comment:

  1. Selamat pagi, bolehkah saya meminta pdf artikel terkait agar dapat dimasukkan sebagai daftar acuan di tugas mata kuliah? Terima kasih.

    ReplyDelete

SEJARAH SINGKAT PURA AGUNG BATAN BINGIN DESA PEJENG KAWAN, KEC.TAMPAK SIRING

Bila dicermati dari tinggalan-tinggalan purbakala yang ada di Pura Agung Batan Bingin, seperti Arca Budha di Ratu Melanting dan arca-arca ya...