BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Salah
satu sarana untuk mempertebal keyakinan dan menghubungkan diri dengan Ida
Sanghyang Widi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa) adalah dengan cara berkesenian.
Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan
religi masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para
penganutnya dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka
banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai
pelengkap pemujaan tersebut.
Upacara
di pura-pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, tari, karawitan, seni
lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi dan pura-pura dibangun sedemikian rupa
sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari penganut Hindu di
Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih)
mempersembahkan tarian sebagai wujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa), bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin
bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Para
seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia
ini adalah percikan seni. Selain itu juga berkembang pertunjukkan seni yang
bersifat menghibur. Maka di Bali, berdasarkan sifatnya seni digolongkan menjadi
seni wali yang disakralkan dan seni yang tidak sakral (disebut profan) yang
berfungsi sebagai tontonan atau hiburan saja.
Pada
seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka
suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut
biasanya disucikan. Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya
pada tari Pendet ada canang sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi),
pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada tari Rejang pada gelungannya serta
benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus Rejang Renteng).
Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup), dan beras sekar
ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak boleh
digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya
seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang
masih muda, belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan
pewintenan (upacara penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Berbagai
jenis tarian Bali menampakan adanya hubungan yang erat dengan aktivitas
keagamaan dan juga berkembang menjadi tari-tarian yang dipentaskan di atas
panggung. Masyarakat Hindu di Bali dalam
berkesenian akan dilengkapi pula pelaksanaan ritual dengan upacara sesajen (
banten) sesuai dengan adat daerahnya masing-masing, dimana upacara tersebut
akan berpedoman pada filsafat konsep Tri Kona yaitu Desa (tempat), Kala (waktu)
dan Patra (kondisi/ keadaan). Seusai pertunjukan diharapkan mendatangkan
kedamaian di dunia ini secara lahir bathin, oleh karena itu pada saat-saat
tertentu dapat kita jumpai adanya pementasan tari Sanghyang, Rejang, Topeng,
Barong, Baris Gede, Barong Ketingkling dan sebagainya.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
Dari pembahasan
latar belakang diatas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1
Bagaimanakah sejarah tari sakral secara
umum dan bagaimana pula sejarah tari Rejang Sutri di Pura Samuantiga?
1.2.2
Bagaimana bentuk dan tahapan pelaksanaan
tari Rejang Sutri?
1.2.3
Apa saja fungsi dari tari Rejang Sutri?
1.2.4
Apakah makna dari tari Rejang Sutri?
1.3
TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan
rumusan masalah diatas maka, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
tentang :
·
Sejarah tari sakral secara umum dan
sejarah tari Rejang Sutri yang ada di Pura Samuantiga.
·
Bentuk dan tahapan pelaksanaan dari tari
Rejang Sutri.
·
Fungsi dari tari Rejang Sutri.
·
Makna dari tari Rejang Sutri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH
TARI SAKRAL SECARA UMUM
|

Dalam sejarahnya tari wali ini sebagian besar
dikaitkan dengan mitologi agama yang berkembang di daerah tertentu. Mitologi
ini mungkin dibuat bersamaan atau sesudah tari wali itu diciptakan atau
sebelumnya. Meskipun tarian ini diciptakan manusia, tetapi karena sudah
merupakan konsensus dari masyarakat pendukungnya maka tari wali ini mendapat
tempat khusus di hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan agama,
terutama agama Hindu.
Tari-tari wali yang tercipta di Bali mirip
dengan tari-tari ritual di India. Menurut mitologi tarian-tarian wali itu
diciptakan oleh Dewa Brahma, dan Dewa
Siwa yang terkenal dengan tarian kosmisnya, yaitu Siwa Nata Raja. Di mana Dewa
Siwa memutar dunia dengan gerakan mudranya yang berkekuatan ghaib. Setiap sikap
tangan dengan gerakan tubuh memiliki makna dan kekuatan tertentu sehingga tarian
ini tidak hanya menampilkan keindahan rupa atau pakaian, tetapi mempunyai
kekuatan sekala dan niskala. Di Bali tidak sembarang digunakan. Hanya para
Sulinggih (Brahmana atau orang suci) saja yang menggunakan gerakan tangan mudra
ini, karena sangat sakral.
Di Bali untuk menambah kekuatan sekala dan
niskala pada tarian sering disertai dengan banten-banten (sesajian) Pasupati
untuk penari atau perlengkapan tari tertentu. Untuk pertunjukkan tari wali
tertentu, diawali dengan sesajian dan tetabuhan agar tidak diganggu bhuta kala
giraha dan bhuta kala kapiragan. Tak jarang persembahan tari dalam ritual
tertentu dilakukan prosesi Pasupati, baik secara sederhana dengan menggunakan
banten Pasupati atau dilakukan dengan lebih khusus, lebih besar atau istimewa
untuk memohon agar si penari dibimbing sesuai dengan kehendak Ida Betara.
Pasupati artinya raja gembala hewan.
Maksudnya agar si penari layaknya hewan gembala yang diatur dan digembalakan
sepenuhnya oleh si penggembala, yaitu Ida Betara. Maka setiap gerak-gerik
penari tidak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri, sebagian gerakannya
dijiwai oleh Ida Betara yang dimohonkan. Sehingga tarian itu akan memiliki
niskala (kekuatan magis).
Tari Bali diciptakan penciptanya berdasarkan
insting atau naluri dalam berkesenian. Apakah dengan meniru gerakan manusia,
air, pohon dan sebagainya, sehingga terangkum dalam gerakan yang memiliki nilai
seni. Pada masyarakat berkebudayaan tinggi serta menjujung nilai-nilai religius agraris dan mistis
seperti di Bali, gerakan tari disertai aksen-aksen tertentu yang berkekuatan
ghaib. Disertai banten-banten dan mantra-mantra tertentu untuk mengundang
kekuatan sekala dan niskala, sehingga mendukung dan menunjang kesakralan tarian
tersebut.
2.1.1 SEJARAH MUNCULNYA TARI REJANG SUTRI
Sejarah
munculnya tari Rejang Sutri di desa Batuan, Sukawati, sangatlah sulit, karena
tidak adanya catatan – catatan, literatur, buku- buku yang menyebutkan tentang
tari Rejang Sutri ini. Hanya keterangan secara lisan sebagai cerita rakyat yang
secara turun temurun telah dipercayai oleh masyarakat Batuan. Keterangan itu
adalah berawal dari kekalahan I Renggan yang sekarang bergelar Ratu Gede
Mecaling (menguasai ilmu hitam) atas I Dewa Babi mengakibatkan terciptnya
tarian Rejang Sutri tersebut. Kejadian tersebut kira –kira terjadi pada abad ke
17 (1658 Masehi), saat kerajaan Sukawati dipegang oleh Ida Sri Aji Maha Sirikan
yang bergelar I Dewa Agung Anom dan nama lainnya Sri Wijaya Tanu.
Kejadian
tersebut berawal dari resahnya warga batuan karena ilmu hitam I Renggan, karena
sifatnya sering nelarang aji ugig, misal ada salah satu masyarakat yang mempunyai
suatu upacara yang menggunakan banten guling babi, dengan kesaktiannya I
Renggan menghidupkan guling yang telah menjadi banten upacara. Suatu hari
terjadi hal menarik dan aneh akibat ulah dari si Renggan. Ada kumpulan
masyarakat setempat sedang membuat guling yang digunakan untuk sarana upakara,
I Renggan meminta untuk ikut membantu dalam membuat guling tersebut namun tidak
diizinkan karena masyarakat tahu dia nelarang aji ugig dan I Renggan disuruh
mengguling mentimun yang ada disampingnya. Ia lalu mengguling timun di samping
tempat mengguling babi, sungguh hal aneh disaat sudah matang tiba – tiba rasa
dari guling babai berubah manjadi rasa mentimun dan guling mentimun yang dibuat
oleh I Renggan berubah rasa menjadi rasa guling babi. Berdasarkan hal tersebut
masyarakat Batuan sampai sekarang mempercayai bahwa setiap menghaturkan guling
pasti disampingnya disertai dengan buah mentimun.
Setiap saat I
Renggan seklalu sempat nelarang aji ugig, maka masyarakat melapor kepada Dewa
Babi, dan Dewa Babi memutuskan untuk mengjak I Renggan bertarung menguling.
Pada saat pertandingan, guling I Renggan di bagian kakinya diikat dengan benang
tri datu dan Dewa babi dengan tali kupas. Barang siapa yang talinya putus
akibat terbakar terlebih dahulu ia harus pergi dari Desa Batuan. Diceritakan
pertandingan telah dimulai, selang beberapa lama hal mengejutkan terjadi, tali
benang tri datu terputus itu pertanda bahwa I Renggan kalah dalam pertandingan
dan harus pergi dari Desa Batuan. Kekalahan itu mengakibatkan I Renggan terusir
dari Batuan dan akhirnya tinggal diJungut Batu Nusa Penida Kabupaten Klungkung
dan di Nusa Penida bernama Ratu Gede Mecaling. Ratu Gede Mecaling berjanji akan
mencari tumbal di Desa Batuan, serta siapa saja yang berani datang ke Nusa
Penida akan mendapatkan celaka, karena itu warga merasa resah. Jro mangku
menyiasati agar pada saat sasih kalima sampai sasih kesanga agar masyarakat
tidur di bawah tempat tidur atau di beten longn agar dilihat seperti babi. Lama- kelamaan masyarakat merasa jenuh
dengan bayang- bayang Ratu Gede Mecaling, sesunan ring pura Desa memberikan
pawisik kepada jro mangku agar nyuguhkan sebuah tarian Rejang Sutri dan
Gocekan. Sebab dengan itu dapat meluluhkan hawa nafsu, dendam yang dirasakan
oleh Ratu Gede Mecaling.
Namun pada masa
sekarang ini beberapa orang masyarakat Batuan sudah sering melakukan
persembahyangan ke Pura Dalem Peed Nusa Penida tempat berstananya Ratu Gede
Mecaling, tetapi tidak terjadi apa- apa, dan mudah- mudahan beliau melupakan
kejadian masa lalu dan memberikan keselamatan kepada kehidupan kita.Bahkan
suatu kepercayaan bahwa pada mulai sasih kelima ( sekitar
bulan Nopember ) sampai sasih kesanga ( bulan Maret ) tahun
berikutnya dikenal masa bebrjangkitnya bermacam – macam penyakiy ( wabah ) dan
dirasakan sebagai saat – saat sangat genting, kepercayaan masyarakat Desa
Batuan saat inilah I Gede Mecaling sedang berkelana di Bali untuk mencari labaan (
tumbal ) dan menyebar gering /pemyakit. Maka, khususnya di Batuan
menggelar pertunjukan Rejang Sutri untuk meminimalisir pengaruh negatif saat
bulan – bulan tersebut.
Dari sejarah
singkat mengenai asal mula tari Rejang Sutri di daerah Batuan yang telah
dipaparkan, ini menjadi tombak
munculnya tari Rejang Sutri di daerah Gianyar, seperti misalnya di daerah
Batuan, Pura Samuantiga di Bedulu, di Desa Pering Blahbatuh, di Pura Agung Desa
Lebih Gianyar, dan lain – lain pada saat piodalan – piodalan
(ngusabha) di pura – pura tertentu. Tarian ini dilakukan sebagai peminimalisir pengaruh
negatif dan orang yang bisa
menjadi permas atau penari sutra adalah orang-orang yang menjadi pewaris
(keturunan) yang pada mulanya adalah orang-orang yang pernah terkena musibah
(sakit) dan orang-orang tersebut.
2.1.2 TARI
REJANG SUTRI DI PURA SAMUANTIGA
Dalam pelaksanaan upacara piodalan
di pura Samiantiga yang dilaksanakan setiap 210 hari sekali (pujawali balian) dan setahun sekali pada purnama kedasa (ngusaba), dilaksanakan sebuah tari upacara (wali) yang unik dan khas yang oleh
masyarakat setempat disebut dengan Tari Rejang
Sutri.
Keunikan dan kekhasan tarian ini terletak pada proses dan sarana yang dibawa.
Keunikan lainnya, tarian ini diiringi oleh dua barung gamelan secara bersamaan
yaitu gamelan Gong Kebyar dan gamelan Angklung.
Keberadaan tarian ini di daerah Bedulu diperkirakan sejaman dengan
dibangunnya Pura Samuantiga yaitu pada jaman pemerintahan raja Ganapriya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada sekitar tahun 988-1011
masehi. Di jaman globalisasi masysrakat mengalami perubaha yang disebabkan oleh
perkembangan jaman terutama perkembangan dan ekonomi. Seperti beberapa
tari-tarian wali, pada mulanya sebagai tari sakral kemudian bergeser fungsi
menjadi tari sekuler atau memiliki fungsi ganda. Demikian pula dengan benntuk
penyajiannya yang semula sangan sederhana kemudian ditata lebih artistik. Hal
tersebut tidak terjadi pada Tari Sutri di Pura
Samuantiga, tarian ini tetap eksis seperti semula, tidak banyak mengalami
perubahan, perubahan terjadi pada jumlah penari yang kadang-kadang bertambah
dan kadang-kadang berkurang. Hal tersbut disebabkan oleh perlakuan masyarakat
yang melihat Tari Sutri sebagai
tarian yang sangat disucikan sehingga mereka cenderung takut untuk merubahnya.
Tari Sutri dibawakan oleh sekelompok penari
wanita disebut dengan permas.
Mereka adalah orang-orang yang berkomitmen dalam hidupnya untuk menjadi
pengayah setiap upacara piodalan berlangsung. Tidak sembarang orang yang bisa
menjadi permas, mereka adalah orang-orang yang menjadi pewaris (keturunan) yang
pada mulanya adalah orang-orang yang pernah terkena musibah (sakit) dan
orang-orang tersebut memang sudah dikehendaki oleh Bhatara-Bhatari yang
berstana di Pura Samuantiga. Orang-orang yang akan menjadi penari ini harus menjalani
suatu proses yaitu harus melakukan pawintenan (disucikan secara sekala dan niskala),
menghaturkan bamnten pejati
dan banten pamiak kala. Tari
Sutri merupakan tarian skral atau suci yang dilaksanakan dalam upacara piodalan
di Pura Samuantiga sebagai tari pengucian dalam rangkaian Ida Bhatara akan tedun,
dari Pengaruman Ageng. Di samping itu tarian ini juga merupakan ungkapan rasa
syukur kehadapan Ida Bhatara yang berstana di Pura Samuantiga atas karunia yang
telah dilimpahkan kepada masyarakat, sehinmgga masyarakat didak berani tidak
melaksanakan tarian ini.


Gerak-gerak
tarinya sangat sederhana yang terdiri dari gerak nampyog, ngober
ngambet, ngober nyambung, yang dibentuk ke dalam struktur
pertunjukan Tari sutri.Tidak ada kekhususan di dalam penggunaan busana dan
rias.Busananya hanya menggunakan busana adat ke pura yang didominasi oleh warna
putih dengan kain berwarna hitam polos. Karena tari ini hanya dilaksanakan pada
upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga maka tempat pementasannya dari tahun ke tahun
tetap yaitu dimandala Penataran Agung, tempat Bhatara-bhatari
katuran piodalan.Keunikan tarian ini terletak pada musik
iringan tari yang mempergunakan dua barung gamelan yaitu gamelan gong kebyar duwe dan angklung duwe.
Tari
Sutri dibawakan oleh sekelompok penari wanita yang
sudah lanjut usia (akil balik). Tari ini diawali dengan bagian pertama yaitu Sutri yang dibawakan oleh para permas. Tahap pertama permas tampil dengan membawa tiga buah dupa, mereka menari di tiga tempat
yaitu : di Mandala Duwur Delod menghadap
ke Timur, di Mandala Beten Kangin menghadap ke Selatan, dan di Mandala Penataran
Agung menghadap ke Timur, yaitu menghadap ke Pangaruman
Agung. Tahap kedua, permas tampil dengan membawa tiga buah dupa menari sambil mengelilingi Mandala
Penataran Agung sebanyak tiga kali putaran, dimulai dari Mandala Beten
Manggis menujuMandala Duwur Delod, Beten Kangin, putaran yang ketiga kembali ke Mandala Beten
Manggis. Tahap ketiga, permas menari juga dengan membawa tiga buah dupa mengikuti para pemangku, para pemangku masing-masing membawa peralatan
upacara seperti pasepan, dupa, tirta, cecepan, tetabuh dan genta.Hal ini juga dilakukan
sebanyak tiga kali putaran seperti pada bagian kedua.Tahap keempat permas melakukan gerakan ngober ngambet, masing-masing permas memegang selendangnya sendiri, dilakukan tiga kali putaran seperti
pada bagian pertama.Tahap kelima, permas juga menari dengan gerakan ngober nyambung, masing-masing permas memegang
selendang permas yang ada di belakangnya.
Tari
Sutri di Pura Samuantiga berbeda dengan tarian sacral lainnya, karena tarian tersebut ditarikan oleh para
wanita yang sudah lanjut usia, dapat melakukan tarian tersebut selama lebih
kurang empat jam dengan
mengelilingi areal pura yang begitu luas sebanyak 18 kali putaran tanpa
henti-hentinya sambil berlari-lari dan tidak terlihat kelelahan. Para permas selama menari selalu membawa dupa tiga buah.Disamping itu terdapat
gerakombak-ombakan dan masing-masing penari harus
dapat menyentuh seluruh bataran pelinggih yang berada di Mandala Penataran Agung. Tari Sutri ini juga mempunyai keunikan
tersendiri yaitu diiringi oleh dua barungan gamelan sekaligus yaitu Gong Kebyar dan Angklung.
2.3 FUNGSI
TARI REJANG SUTRI
Tari Sutri memiliki beberapa fungsi: (1)
fungsi ritual, yaitu tarian ini bertujuan untuk penyucian palinggih-palinggih dan areal pura dalam rangkaian Bhatara-bhatari akan tedun untuk kembali ke yogan (tempat berstana) masing-masing. (2) Fungsi sosial, pelaksanaan Tari
Sutri yang terkait dengan pelaksanaan piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga dapat memberikan
kontribusi yang positif terhadap masyarakatnya karena mampu menumbuhkan
kerjasama yang baik antar warga, mengikat solidaritas masyarakat, menumbuhkan
rasa kebersamaan, menumbuhkan rasa pengabdian yang tinggi, dan juga dapat
memberikan hiburan bagi warga masyarakat. (3) Fungsi Estetika, pelaksanaan
tarian ini dapat memberikan fungsi estetika karena tarian ini memenuhi beberapa
unsur estetika yang dapat membangkitkan rasa keindahan. (4) Fungsi pelestarian,
tarian ini wajib dan harus dilaksanakan pada pelaksanaan upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga Bedulu
yang bertujuan menyucikan palinggih-palinggih serta areal pura dalam rangkaian Bhatara-bhatari
tedun dan masih tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang terkandung
di dalamnya. Pentingnya tarian ini dalam menunjang jalannya upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga
menyebabkan kehidupan tarian ini tetap langgeng dan diteruskan oleh generasi
penerusnya sehingga tarian ini dapat mempertahankan kearifan lokal dalam
globalisasi.(5) Fungsi Pengobatan, yaitu pengobatan secara spiritual yang
berkaitan dengan upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga. Tari
Sutri yang dilaksanakan dalam upacara piodalan (ngusabha) di Pura Samuantiga mampu
menambah keyakinan warga masyarakat tentang adanya kekuatan di luar dirinya
serta mampu sebagai sarana pengikat solidaritas, kebersamaan, kesatuan dan
persatuan sehingga dalam masyarakatnya terjadi suatu keseimbangan dan mencegah
terjadinya konflik.
2.4 MAKNA TARI REJANG SUTRI
Dari pelaksanaan Tari Sutri di dalamnya mengandung makna religius, makna solidaritas, makna
estetika dan makna simbolis. Makna religius, dengan melaksanakan tarian ini
dalam pelaksanaan upacara piodalan ngusabha warga masyarakat khususnya permas seperti memperoleh keselamatan dan perlindungan serta mengalami
pengalaman-pengalaman yang religius seperti merasakan sangat gembira, tidak
punya rasa malu, dapat melakukan gerakan dengan ringan, tidak merasa lelah. Pengabdian
yang tulus ikhlas yang dilakukan dalam melaksanakan upacara mengandung makna
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin bagi kehidupan masyarakatnya. Makna
solidaritas, pelaksanaan tarian ini dalam upacara mengandung makna kebersamaan,
kesatuan dan persatuan, kesabaran dan hiburan sehingga menimbulkan rasa
solidaritas yang tinggi. Makna estetika, memberikan rasa senang, gembira, puas,
nyaman, tidak merasa malu, tidak merasa lelah bagi pelaku maupun penikmat
sehingga mereka mendapatkan kepuasan lahir batin. Makna simbolis, dapat dilihat
dari gerak, busana dan properti. Makna gerak secara spiritual gerak-gerak yang
dilakukan mengandung beberapa makna antara lain makna penyucian secara lahir
batin, makna kebersamaan, kesadaran, kesatuan dan persatuan, makna penyucian
palinggih-palinggih beserta areal pura. Makna busana terdapat pada warna putih
yang menyimbolkan kesucian dan warna hitam menyimbolkan Dewa
Iswara yaitu dewanya air.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN DAN SARAN
Masyarakat Bali di daerah
Gianyar khususnya warga masyarakat Bedulu memiliki sebuah bentuk tari wali,
merupakan warisan budaya yang mengandung nilai-nilai religius yang cukup tinggi
dan patut dibanggakan. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa warisan budaya yang
bernilai tinggi masih tetap eksis dilaksanakan. Dalam hal ini perlu adanya
tindakan nyata baik kalangan warga setempat, kalangan pemerintah dan budayawan,
diharapkan adanya kepedulian terhadap Tari Sutri di Pura Samuantiga sehingga
keberadaan tari tersebut tetap lestari sebagaimana bentuknya semula.
Tari Sutri yang dilaksanakan dalam upacara piodalan di Pura Samuantiga, mengandung banyak makna yang sangat mendalam
dan mengajarkan adanya perilaku manusia yang selama hidupnya berada dalam dua
jalur yang berbeda seperti baik buruk, suka duka dan mengajarkan hal-hal
kebersamaan, kesatuan dan persatuan terhadap masyarakat, sehingga dapat dipakai
pegangan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu perlu adanya penjelasan dan
disebarluaskan pada generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Informasi
dari masyarakat sekitar Bedulu, Blahbatuh, Gianyar.
Aryasa,
I Wayan. 1992. Materi
Pokok Seni Sakral. Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarkaat
Hindu dan Budha Universitas Terbuka.
Patera,
I Wayan. 2004. Kahyangan
Jagat Pura Samuantiga Bedulu-Blahbatuh
Selamat pagi, bolehkah saya meminta pdf artikel terkait agar dapat dimasukkan sebagai daftar acuan di tugas mata kuliah? Terima kasih.
ReplyDelete