Thursday, May 7, 2015

Tradisi "Mesbes Bangke" di Gianyar


Tradisi “Mesbes Bangke” – Banjar Buruan – Gianyar
Tradisi yang cukup ekstrim, seram dan cukup aneh masih berlaku di salah satu Desa Tampaksiring – Gianyar. Bagi masyarakat awam yang tidak mengetahui dan baru melihat bahkan mendengar akan merasakan kepiluan bila melihat tradisi mencabik mayat atau yang lebih dikenal dengan “Mesbes Bangke” yang dilakukan oleh warga di Desa Tampaksiring.
Tradisi Mesbes Bangke ini dilakukan dengan menggunakan tangan, bahkan ada yang menggunakan gigi. Setelah tiba di sungai dekat kuburan, para pencabik melepaskan mayat dari joli untuk dipermainkan. Mayat dibawa lari kesana-kemari. Setelah para pencabik capek, barulah mayat dikremasi.
Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan, Desa Tampaksiring, Gianyar mengungkapkan pelaksanaan tradisi tersebut dilakukan setiap ada warga yang menghelat ritual ngaben secara personal.
Di Desa Tampaksiring ada sistem ngaben secara kolektif dan ngaben pribadi. Bisa saja orang yang meninggal itu dikubur dan tentunya semua itu dilakukan berdasarkan hari baik. Saat ngaben pribadi inilah, tradisi “Mesbes Bangke” itu dilaksanakan.
Sebenarnya tidak ada sastra tertulis yang menyebutkan tentang keberadaan tradisi ini. Menurut penuturan para tetua di Banjar Buruam. tradisi ini muncul karena pada jaman dahulu sebelum ada formalin, setiap mayat baunya sangat menyengat sehingga warga tidak bisa membawa ke kuburan. Dengan kondisi tersebut, muncul ide untuk melupakan bau busuk, krama mengarak sambil mempermainkan mayat tersebut. Tujuannya agar tidak ngadek(mencium) bau busuk saat mengarak, makanya ngarap (mempermainkan mayat) inilah yang dilakukan oleh warga.
Saat ngarap warga tidak memandang stratifikasi sosial. Apabila mereka menggunakan sistem ngaben personal untuk upacara Pitra Yadnya, tetap akan diperlakukan sama. Namun jika yang meninggal adalah pemangku atau sulinggih, maka dilakukan taktik supaya tidak ngarap, yaitu dengan menggelar ritual mekingsan ring gni.
Yang boleh ikut dalam tradisi ini adalah hanya warga setempat. Bila ada warga luar yang ikut, akibatnya bisa fatal, secara tidak sadar massa akan mengeroyok orang tersebut.
Sebelumnya, tahun 1980-an, tradisi ngarak ini, mayat sampai dikeluarkan dari kaputnya. Namun, kini tradisi ngarap sudah sedikit tidak terlalu ekstrem. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak keluarga dan prajuru banjar melapisi mayat dengan banyak pembungkus. Diantaranya, tikar, kain, diikat rantai lebar 5 cm dan dibungkus lagi pakai tikar, kain dan diikat lagi menggunakan rantai 3 cm.

Pembungkusan itu juga bertujuan untuk menghindarkan warga dari penyakit. Siapa tahu semasa hidup, orang yang meninggal tersebut mempunyai penyakit menular.

No comments:

Post a Comment

SEJARAH SINGKAT PURA AGUNG BATAN BINGIN DESA PEJENG KAWAN, KEC.TAMPAK SIRING

Bila dicermati dari tinggalan-tinggalan purbakala yang ada di Pura Agung Batan Bingin, seperti Arca Budha di Ratu Melanting dan arca-arca ya...